selamat datang di Indonesia, negeri tercantik sejagat raya. lihatlah keindahan, budaya, insan, kuliner, wisata, keunikan dan apa saja tentang Indonesia

Selasa, 31 Mei 2011

Tradisi Kolili Kie Di Pulau Ternate, Maluku Utara


Kololi Kie dalam bahasa Ternate berarti Keliling Gunung (Kololi artinya Keliling) dan (Kie artinya Gunung), adalah sebuah ritual adat mengelilingi gunung Gamalama sekaligus pulau Ternate yang dilakukan langsung Sultan bersama permaisuri Boki Nita Budi Susanti bersama pasukannya (kapita) dan rakyatnya (bala kusu sekano kano). Tradisi yang berusia sudah 700 tahun lebih ini, adalah ritual untuk mendoakan rakyat Maluku Kie Raha dan Ternate yang dilakukan Sultan. Ritual ini tidak hanya dilakukan saat Sultan berultah, ketika masyarakat Maluku Utara dilanda musibah besar seperti bencana alam dan didera konflik pertikaian, Sultan pun langsung menggelar Kololi Kie.  Ada dua jalur yang ditempuh dalam Kololi Kie, yakni jalur laut yang dalam bahasa local Ternate disebut Kololi Kie Toma Ngolo (Toma berarti di dan Ngolo berarti Laut) disamping jalur darat (Kololi Kie Toma Nyiha (Nyiha berarti Darat).
Menurut sejarawan  terkenal Leonard Andaya (dalam Reid, 1993: 28-29), bahwa ancaman berupa bencana alam yang ditimbulkan oleh sebuah gunung berapi terkadang dapat melahirkan satu tradisi yang khas. Beberapa kawasan di Asia Tenggara, termasuk di daerah Maluku Utara, gunung terutama gunung berapi aktif dianggap sebagai representasi penguasa alam.
Oleh sebab itu, keberadaan gunung selalu dihormati dengan cara melakukan beberapa ritual tertentu. Sebuah gunung dianggap mewakili sosok yang mengagumkan sekaligus mengancam, sehingga diperlukan upacara penghormatan supaya keberadaannya menjamin ketentraman, keamanan, dan keberadaan masyarakat di sekitarnya. Demikian menurut Leonard Andaya.

Dalam perspektif ini, ritual adat kololi kie ini memiliki makna ganda selain merupakan tradisi yg selalu dilakukan leluhur jaman dahulu untuk menjiarahi beberapa tempat yang dianggap keramat juga merupakan upaya untuk menjauhkan masyarakat Ternate dari berbagai ancaman bencana dari gunung berapi Gamalama tersebut. Hal seperti ini juga terjadi di beberapa gunung di pulau Jawa, Sumatera dan tempat lain di nusantara ini.

Pulau Ternate jik
a dilihat dari aspek topografis, berbentuk bulat kerucut (strato vulkano) yang luas diagonal pulau kecil ini dari arah utara ke selatan sepanjang 13 km dan dari arah barat ke timur sepanjang 11 km, dengan panjang bibir pantai keliling pulau kurang lebih 55 km dengan bentangan luas seluruh daratan pulau adalah 92,12 km2. Dengan kondisi geografis demikian, maka sudah pasti bahwa jika kita mengelilingi “gunung Gamalamaharuslah dilakukan dengan mengelilingi pulau Ternate tersebut. Terdapat dua jalur untuk mengelilingi pulau kecil ini, yakni melalui jalur laut (kololi kie toma ngolo) dan atau melalui jalur darat (kololi kie toma nyiha). Gunung Gamalama merupakan satu-satunya gunung yang bertengger di pulau tersebut yang hingga saat ini masih merupakan gunung berapi aktif dengan ketinggian saat ini kurang lebih 1.730 m dari permukan laut.

PENGERTIAN & MAKNA FILOSOFI
Secara etimologi, kata “Kololi Kie” berasal dari bahasa asli Ternate yakni gabungan dari dua kata, yaitu ; kata “” yang berarti keliling atau mengintari dan kata “kie” yang berarti gunung, pulau, darat atau juga berarti daratan. Jadi, pengertian kata Kololi Kie secara umum bermakna; kegiatan mengitari atau mengililingi pulau/gunung. Ada istilah lain yang mempunyai arti serupa yang juga populer di masyarakat Ternate terhadap kegiatan kololi kie ini, yaitu “Ron Gunung“.
Ritual kololi kie ini sudah dilakukan oleh masyarakat Ternate sejak ratusan tahun lalu. Ritual adat ini merupakan salah satu dari dua ritual tertua yang dianggap satu paket, yakni ritual “Fere Kie” yaitu kegiatan ritual naik ke puncak gunung Gamalama untuk berziarah. (tentang ini akan dibahas dalam tersendiri sedudah tulisan ini).
Tradisi ritual adat kololi kie ini, jika dilihat dari sisi “route” yang dilalui, maka terdapat dua jalur yang bisa dilalui, yaitu; melalui jalur laut dan melalui jalur darat.
1). Melalui Jalur Laut, (=Kololi kie toma ngolo).
Kendaraan yang dugunakan pada kegiatan ritual adat kololi kie toma ngolo ini adalah perahu atau kapal ukuran sedang. Saat ini biasanya menggunakan perahu atau kapal bermotor, sedangkan pada jaman dahulu hal itu dilakukan dengan menggunakan perahu tanpa mesin, yakni mendayung dengan tangan.
2). Melalui Jalur Darat, (=Kololi kie toma nyiha / nyiho).
Kololi kie toma nyiha (sering disebut juga nyiho) biasanya dilakukan dengan dua cara, yaitu; dengan menggunakan kendaraan (mobil atau motor) dan dengan berjalan kaki, tapi yang terakhir ini sudah jarang diklakukan lagi.
Jika dilihat dari aspek “niat” atau “hajat” untuk melaksanakan ritual ini, maka ritual adat kololi kie ini dibagi atas tiga kategori, yaitu ; niat atau hajat perorangan, hajatan kelompok, dan hajatan besar dari pihak kesultanan.
1). Niat atau Hajatan Perorangan
Hajat perorangan biasanya dilakukan oleh seseorang apabila mencapai apa yang dicita-citakannya tercapai, maka ia ber-nazar akan melakukan ritual adat kololi kie ini sebagai ungkapan rasa syukur atas apa yang telah diberikan oleh Allah SWT. Selain melalui sholat, masyarakat tradisional Ternate juga menziarahi para leluhur mereka yakni ke makam-makam dan keramat para sufi, para mubaligh dan tempat-tempat yang dianggap “Jere” (makam keramat beberapa ulama tasawuf Ternate jaman dahulu) yang dalam bahasa Ternate ulama tasawuf ini disapa “Joguru Lamo” atau ’”Khalifahyang makam keramatnya tersebar di sekelilingi pulau ini.

Pada ritual adat kololi kie kategori niat atau hajat perorangan ini biasanya jarang dilakukan melalui laut, tapi kebanyakan melalui darat dengan menggunakan kendaraan darat baik mobil atau motor. Ritual adat ini biasanya dilakukan oleh seseorang apabila ia hendak merantau atau kembali ke kampung halaman setelah sekian lama merantau, atau juga mereka yang hendak melakukan pernikahan, atau sembuh dari penyakit yang lama diseritanya.
Hingga saat ini masih saja ada beberapa calon jemah haji di pulau Ternate yang hendak melakukan ibadah haji ke tanah suci, sebelum belaksanakan rukun haji, mereka juga melakukan kegiatan ritual adat Kololi Kie dan Fere Kie ini dengan niat menziarahi makam atau jere para sufi dan mubaligh Ternate jaman dahulu yang telah berjasa memperkokoh tegaknya syariat Islam di jazirah Moloku Kie Raha yakni di Ternate dan sekitarnya yang menurut pandangan mereka bahwa aqidah Islam yang dianut hingga saat ini dan masih tetap terpelihara turun-temurun hingga sampai pada dirinya yang saat ini hendak menjalankan rukun Islam yang kelima ke tanah suci Mekkah adalah hasil jerih payah para leluhur dalam menegakkan syariat Islam waktu itu.
2). Niat dan Hajatan Kelompok
Pada ritual adat kololi kie kategori niat atau hajatan kelompok kebanyakan dilakukan melalui jalur laut (kololi kie toma ngolo). Maksudnya juga sama yaitu melaksanakan nazar yaitu ungkapan rasa syukur atas apa yang telah diberikan oleh Allah SWT sekaligus menziarahi makam-makam dan jere para sufi. Ritual adat ini biasanya dilakukan apabila kerabat atau keluarga batih ataupun kelompok yang hendak mendirikan rumah, hendak panen rempah-rempah atau mereka yang selamat dari malapetakan, bencana atau wabah.
3). Niat dan Hajatan Besar dari Kesultanan Ternate
Ritual adat kololi kie pada hajatan besar dari kesultanan adalah merupakan kegiatan ritual terbesar yang dilakukan setiap tahun. Ritual adat ini dilakukan secara besar-besaran dan sangat meriah terutama di sepanjang route yang dilaluinya. Route yang dilalui hanya melalui jalur laut, (kololi kie toma ngolo). Kata “toma ngolo” dalam bahasa Ternate berarti “di laut”.
Sedangkan jika dilihat dari aspek “proses verbalitas”, kegiatan ritual adat kololi kie ini, menurut penulis setidaknya terdapat 6 (enam) makna filosofis dan pedagogis yang bisa dielaskan kepada para pembaca dalam deskripsi tulisan ini, diantaranya adalah;
1). Ritual adat kololi kie ini merupakan suatu kegiatan “napak tilas” dari sejarah proses kedatangan dan berlabuhnya tokoh legendaris “Maulana Sayyidinaa Syekh Djaffar Shaddiq” sang pembawa agama Islam pertama kali ke pulau Ternate ini dan kemudian menyebarkan siar Islam ke seluruh jazirah Maluku bagian utara. Sebagaimana yang diyakini oleh masyarakat setempat menurut legenda yang ada bahwa sebelum tokoh ini mendaratkan perahunya di pulau Ternate, beliau terlebih dahulu mengitari pulau ini untuk melihat situasi sekaligus mencari tempat yang pantas untuk berlabuh. Akhirnya “Ake Sibu” atau yang sekarang dikenal “Ake Rica” yang berada di desa / kelurahan Ruwa saat ini, adalah tempat yang dipilih untuk berlabuh ketika itu.
2). Sependapat dengan sejarawan Leonard Andaya yang sudah penulis sebutkan di awal tulisan ini bahwa ada makna lain yang tersirat dari kegiatan ritual adat kololi kie ini. Hal ini merupakan aplikatif dari ungkapan masyarakat dan penduduk pulau ini terhadap sebuah kekuatan alam yang berbentuk ancaman berupa bencana alam yang ditimbulkan oleh gunung berapi Gamalama yang dianggap oleh mereka sebagai representasi penguasa alam. Bagi masyarakat tradisional di Ternate, keberadaan gunung Gamalama harus selalu dihormati dengan cara melakukan beberapa ritual tertentu seperti ritual adat kololi kie ini.
3). Sedangkan makna utama dari ritual adat kololi kie ini adalah aktivitas ritual untuk menziarahi makam dan keramat para auliyah, mubaligh, dan beberapa orang ulama tasawuf Ternate jaman dahulu. Makam-makam keramat mereka ini tersebar di tempat-tempat tertentu di sekelilingi pulau ini, sehingga untuk menziarahi keseluruhannya dalam waktu yang bersamaan, harus dilakukan dengan mengitari pulau tersebut. (orang Ternate menyebut makam-makam para Joguru Lamo di jazirah ini dengan istilah “Jere).
4). Makna verbalistis yang bisa dipetik dari ritual adat kololi kie ini juga adalah mendoakan untuk keselamatan dan kemaslahatan negeri “Limau Gapi” ini baik di darat maupun di laut agar tetap kokoh sebagaimana tegaknya huruf alif dan berada dalam satu wadah laksana sebuah perahu yang bentuk seperti huruf baa, serta mensyukuri atas apa yang telah dilakukan oleh para mubaligh dan para sufi pendahulu di negeri para raja-raja ini, seperti; telah diletakkannya dasar aqidah Islam dan ke-tauhid-an yang tetap ada dan masih dipertahankan hingga anak cucu sekarang ini.
Sikap bersyukur dan ungkapan terima kasih tersebut diekpresikan dengan cara tradisional yakni kegiatan ritual menziarahi tempat-tempat tertentu yang diyakini sebagai tempat makam atau Jere mereka yang berada di sekeliling pulau ini. Kebiasaan inilah yang kemudian menjadi suatu tradisi yang masih dipertahankan hingga saat ini, yang kita kenal dengan ritual kololi kie ini. Menurut saya pribadi sebagai penulis, tradisi ini merupakan asset budaya daerah yang harus tetap dilestarikan oleh Pemda setempat.
5). Ritual adat kololi kie ini adalah juga kegiatan “napak tilas” yang wajib bagi setiap warga pribumi Ternate jaman dahulu, yakni melakukan patroli darat dan laut dari kampung ke kampung untuk berjaga-jaga dan memantau situasi kampung-kampung dan perairan sekitar jikalau adanya ancaman yang datang dari pihak luar terhadap penduduk dan warga pesisir di sekeliling pulau Ternate melalui jalur laut. Hal ini sering dilakukan pada masa lampau oleh pasukan angkatan laut kesultanan Ternate dengan “Armada Kora-Kora” dalam memantau situasi negeri sepanjang pantai dan lautan sekeliling pulau Ternate waktu itu. Makna pedagogis yang tersirat dari tradisi ritual adat ini adalah mengajari kita tentang kewaspadaan territorial nasional dalam artian sempit (khusus lingkungan wilayah territorial kedaulatan kesultanan) atas gangguan-ngangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang datang dari pihak luar.
6). Makna pedagogis yang tersirat lainnnya adalah “kebersamaan“. Mengapa penulis berasumsi demikian? karena sejak mulainya perjalanan ritual ini, tidak ada dari perahu-perahu peserta tersebut yang berkejar-kejaran atau saling mendahului. Semua dalam rasa dan nuansa kebersamaan. Semua sudah tahu dan menyadari bahwa perahu atau kapal yang ditumpangi Sultan adalah yang paling depan dan menjadi penjuru iring-iringan. Perahu yang berseliweran ke kiri atau ke kanan ataupun kadang kadang berubah posisi konfigurasi hanya perahu atau speedboat yang ditumpangi para juru dokumenter yang mengabadikan gambar kegiatan ini, baik melalui handycam maupun dengan camera. namun demikian hampir setiap peserta dalam rombongan juga memiliki peralatan dokumentasi pribadi masing-masing.
Catatan tambahan Penulis :
Bahwa dari makna filosofis dan pedagogis dalam ritual adat ini yang sudah penulis sebutkan di atas, akan terlihat jelas sekali pada tahap-tahap pelaksanaan ritual adat ini. Jika anda berada di Ternate dan ikut serta dalam ritual ini dan perhatikan dengan seksama, tentu anda pasti tahu seperti apa tahap-tahap pelaksanaan ritual adat ini termasuk pembacaan doa-doa khusus di tempat-tempat khusus yang dilewati sepanjang jalur kololi kie tersebut. (dijelaskan pada sub judul tentang tahap-tahap, di bawah…).
Bahwa arah pergerakan semua kegiatan ritual adat kololi kie untuk mengelilingi pulau ini, baik melalui jalur darat maupun melalui jalur laut, adalah dilakukan berlawanan arah dengan putaran arah jarum jam. Penulis yang juga putra daerah asli Ternate pernah beberapa kali turut serta dalam rombongan ritual ini, baik kololi kie toma ngolo maupun kololi kie toma nyiha. Nara sumber penulis yang minta dirahasiakan identitasnya menjelaskan bahwa arah mengintari atau perputaran dalam ritual adat kololi kie ini yang berputar berlawanan dengan arah jarum jam adalah menyamakan arahnya persis seperti pelaksanaan tawaf oleh jemah haji yang mengelilingi kabah di Mekkah. Asumsi penulis, putaran arahnya memang sama atau disamakan sejak awalnya mulanya pelaksanaan ritual ini dahulu, tapi hakekat dan makna mungkin berbeda. Wallahu wa’lam ? Tidak ada penjelasan detail dari nara sumber.
Perihal sebutan, orang Ternate menyebut pulau mereka dengan sebutan “Limau Gapi” dan menyebutkan nama gunungnya dengan sebutan “Kie Gam Lamo” (=negeri yang besar) yang merupakan asal kata dari sebutan Gamalama yang kita tahu sekarang ini, kata “Gam Lamo” diucapkan oleh orang Portugis dan Belanda dengan ucapan Gamma de Lamma yang akhirnya diucapkan menjadi Gamalama hingga sekarang ini. Nama gunung ini kemudian dipakai oleh artis serba bisa Dorce Gamalama, setelah mendapat restu langsung dari Sultan Ternate, Drs. H. Mudafar Syah, sesuai pengakuan ybs di acara TV, Dorce Show.
Perihal sebutan orang  Ternate terhadap pulau-p ulau sekitarnya. Misalnya pulau Tidore yang oleh orang Tidore sendiri menyebutnya dengan sebutan “Limau Timore” atau “Todore” dan menyebut gunung Tidore dengan sebutan “Kie Matubu” (=gunung yang tertinggi) namun orang Ternate menyebutnya dengan “Limau Duko”. Orang Ternate juga menyebut pulau Moti dengan sebutan “Limau Tuanane” sedangkan gunungnya disebut “Kie Moti”. Demikian juga orang Ternate menyebut pulau Makian dengan sebutan “Mara” sedangkan gunungnya disebut “Kie Besi”.

TAHAP-TAHAP PELAKSANAAN RITUAL INI
Khusus pada pelaksanaan ritual adat kololi kie toma ngolo (melalui jalur laut), selalu diawali tepat di perairan depan keraton kesultanan Ternate, yakni dari ujung jembatan kesultanan (semacam pelabuhan kerajaan jaman dahulu) yang dikenal dengan nama jembatan “Dodoku Ali” atau “Dodoku Mari”. Walaupun kadang-kadang para peserta menaiki perahu dari pelabuhan Dufa-Dufa, tapi tetap harus menuju ke posisi awal ini untuk mulai pelaksanaan ritual keliling pulau ini.
P eksanaan ritual kololi kie yang dibahas dalam  tulisan ini adalah ritual adat kololi kie pada hajatan besar dari kesultanan yang merupakan kegiatan ritual adat terbesar yang dilakukan setiap tahun, yang menjadi salah satu paket dari upacara adat pesta rakyat yang dikenal dengan “Legu Gam”.
Sebelum rombongan Sultan dan para pembesar kerajaan menaiki perahu masing-masing, Imam Agung Kesultanan di Masjid Sultan Ternate yang bergelar “Jou Qalem” atau “Kadhi” yang akan membacakan doa keselamatan di jembatan ini. Usai berdoa, sultan diikuti para pembesar kerajaan serta para pemimpin soa (kampung) yang bergelar “Fanyira” akan menaiki perahu masing-masing.
Perahu yang ditumpangi Sultan, Permaisuri dan para pembesar kerajaan biasanya dihiasi lebih megah dan memiliki ukuran yang lebih besar dan selama perjalanan senantiasab selalu berada paling depan dari semua rombongan yang turut serta. Perahu besar ini dijuluki dengan sebutan “oti Juanga” yang dihiasi ukiran kepala naga di bagian haluan dan ekor naga di buritan. Selain itu dihiasi pula dengan umbul-umbul dan bendera kebesaraan kesultanan.
Sementara perahu-perahu berukuran lebih kecil lainnya yang disebut “oti kora-kora ici” dinaiki oleh para kepala soa (Fanyira) yang selalu berdiri di haluan depan dan masyarakat umum lainnya sebagai penumpangnya. Dalam beberapa tahun terakhir ini diikutsertakan juga perahu modern seperti Speedboat viber untuk meramaikan kegiatan ini. Kegiatan ritual adat ini diawali dengan mengitari pusaran kecil di perairan depan keraton kesultanan Ternate, dan biasanya seluruh rombongan armada mengitari perahu yang ditumpangi sang Sultan, Permaisurinya dan para pembesar kesultanan lalu disertai pembacaan  khusus, masing-masing :
1). Khusus pada putaran pertama dibacakan doa “Asmih”, lalu
2). Pada putaran yang ke-2 dibacakan doa “Taiyyibi”, sedangkan
3). Pada putaran ke-3 dibacakan doa “Abdul Qadir Djaelani .
Pada kegiatan ritual adat kololi kie kategori hajatan kesultanan yang dilakukan secara besar-besaran (seperti yang terlihat dalam gambar-gambar ini), pembacaan doa-doa ini biasanya dilakukan oleh salah satu dari lima orang imam besar mesjid kesultanan. Pembacaan doa dilakukan di depan tempat duduk sang Sultan (Jou Kolano) dan Permaisuri (Jou ma Boki) yang sudah disiapkan di atas geladak salah satu perahu / kapal motor yang mereka tumpangi saat itu. Tempat duduk Sultan dan Permaisuri selalu dibungkusi dengan kain warna putih.
Untuk meramaikan suasana upacara ritual ini, sejak dahulu tiap perahu dilengkapi dengan berbagai alat musik, seperti tifa, gong, dan fiol (sejenis alat musik gesek) yang terus-menerus dikumandangkan untuk mengiringi sepanjang perjalanan rombongan armada Kololi Kie ini hingga selesai atau istirahat di Ake Rica.
Dalam perjalanan mengililingi pulau ini, rombongan perahu akan berhenti di beberapa tempat untuk melakukan tabur bunga dan memanjatkan doa. Tempat persinggahan yang agak lama dan biasanya peserta rombongan turun ke darat adalah di Ake Rica ini. Ritual adat ini merupakan bentuk penghormatan terhadap para leluhur kesultanan yaitu; Syai’idinaa Maulana Syekh DjaffarShaddiq sang pembawa agama Islam ke pulau ini.
Perlu digaris bawahi bahwa dalam ritual adat kololi kie di pulau Ternate ini, semua peserta yang ikut dalam pelaksanaan ritual ini akan melewati 4 (empat) sudut utama dari lingkaran pulau Ternate. Istilah untuk keempat sudut ini adalah “Libuku Raha” (libuku=sudut, raha=empat). Dalam ritual ini terdapat terdapat 13 (tiga belas) titik keramat yang wajib diziarahi sepanjang route mengelilingi pulau hingga kembali ke posisi semula. Keempat sudut utama yang disebut Libuku Raha ini adalah :
1). Tabam ma-Dehe
2). Buku Deru-Deru
3). Banding Mari Hisa
4). Foramadiyahi
Sedangkan ke-13 (tiga belas) titik keramat dimaksud tersebut, diantaranya adalah :
1). Kadato ma-Ngara
2). Jere Kubu Lamo
3). Libuku Tabam ma-Dehe
4). Jere Kulaba
5). Sao Ma daha (di Sulamadaha)
6). Libuku Buku Deru-Deru
7). Libuku Bandinga Mari Hisa
8). Ruwa Ake Sibu (Ake Rica)
9). Jere toma Foramadiyahi
10). Ngade (gam ma duso)
11). Talangame
12). Benteng Ora nye / Malayu Cim
13). Jere toma Sigi Lamo
Setelah tiga kali mengitari pusaran kecil di perairan depan keraton kesultanan, seperti yang penulis uraikan di atas, armada kololi kie ini memulai perjalanan ke arah utara yang berlawanan dengan arah jarum jam.
Setelah perjalanan sekitar 15 menit atau sekitar 6 km dari depan keraton kesultanan Ternate, rombungan armada kololi kie ini akan melewati “Jere Kubu Lamo” yakni makam keramat salah seorang sufi Ternate yang dahulu pada zamannya dikenal dengan sebutan “Joguru Lamo” (Joguru=Tuan Guru, Lamo=Besar) yang namanya asli tokoh ini sangat dirahasiakan oleh nara sumber yang penulis wawancarai. Pembacaan doa di pos pertama ini dilakukan sambil berlalu tanpa berhenti.
Menurut nara sumber penulis, seorang Joguru Lamo yang dimakamkan di sini dahulunya adalah guru tasawuf terkenal. Lokasi makam ini tepat berada beberapa puluh meter di belakang deretan kuburan di lokasi Taman Makam Pahlawan Banau di kelurahan Sangadji Ternate utara.
Doa-doa yang dibacakan pada tiap-tiap pos tempat keramat adalah doa “Akrim naa” yang disambung dengan lafadz Allahummaj al naa yaa maulaana alaika dzaa kiriin, kemudian dilanjutkan dengan doa “Tolak Bala”.
Sekitar 20 menit melewati jere Kubu Lamo ke arah utara, rombongan armada kololi kie tiba pada pos keramat berikut, yaitu “Libuku Tabam ma-Dehe”. Tempat ini oleh orang Ternate secara ritual adalah merupakan salah satu sudut pulau karena posisinya seperti sebuah tanjung.
Sepanjang perjalanan mengelilingi pulau, selain pada pos-pos keramat dibacakan doa-doa khusus yang sudah disebutkan di atas (=Asmih, Taiyyibi, Abdul Qadir Djaelani, Tolak Bala), juga dibacakan doa “Alhamdu Tarekat”, doa “Sawwabah”, doa ”Tahlil”, serta “Doa Salamat” dan “Doa Kie”.
Kurang lebih 10 menit dari tempat itu, peserta ritual adat kololi kie melewati perairan yang di pantainya terdapat bentangan bebatuan bekas lelehan lava gunung berapi Gamalama yang sudah membatu, yang disebut “Batu Angus” atau “Mari Hoku” oleh orang Ternate. Sekitar 500 meter dari tempat ini adalah rombongan melewati pos keramat yang ke empat, yakni “Jere Kulaba”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar