selamat datang di Indonesia, negeri tercantik sejagat raya. lihatlah keindahan, budaya, insan, kuliner, wisata, keunikan dan apa saja tentang Indonesia

Kamis, 26 Mei 2011

Suku Mandar Di Sulawesi Selatan


Sama dengan terbentuknya kelompok-kelompok kaum yang menjadi penduduk jazirah selatan sulawesi, demikian pulalah terbentuknya kelompok-kelompok yang dikemudian hari disebu To-mandar. Orang Bugis menamakannya Menre', dan orang makassar menamakannya Mandara'. Orang Mandar mempertahankankan isolasi masing-masing di tempat-tempat pemukiman mereka pada daerah-daerah muara dan pesisir. Jauh di daratanpun terdapat pemukimn di hulu-hulu sungai. Demikianlah Lita' Mandar, terbentuk pada Pitu Ulunna Salu' (Tujuh Hulu Sungai) dan pitu Ba'bana Binanga (Tujuh Muara Sungai).
Dalam Lontara' Mandar (Lontara' berbahasa Mandar), yang umumnya berupa pappasang (amanat) dan petunjuk tentang kebijaksanaan kehidupan, juga tercatat tentang asal-usul  kesatuan lita' atau Tanah Mandar. Dijelaskan bahwa Pitu Ulunna Salu' (Tujuh Hulu Sungai) dan pitu Ba'bana Binanga (Tujuh Muara Sungai) adalah wilayah (kesatuan) Mandar.


Orang Mandar percaya bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang (leluhur) yaitu Ulu Sa'dan  yang bernama Tokombong di Wura' (laki-laki) dan Towisse di Tallang (perempuan). Mereka disebut juga To-manuung di langi'. Dari pernikahan mereka, lahir seorang anak bernama Tobanua Pong atau Tobanua Posi yang kemudin mempunyai tujuh orang anak tapi hanya lima orang yang diketahui namnya, yaitu:
  1. I Lando Belua' (Perempuan, si panjang rambut). Dialah yang pergi ke Gowa.
  2. I laso kepang (Laki-laki, si besar kepala). dialah yang pergi ke luwu'.
  3. I lando guttu (Laki-laki, si panjang lutu). dilah yang menetap di ulu sa'dan.
  4. Yusu' sambamban (laki-laki). dia menetap di karonaga.
  5. I padora' (laki-laki). dialah yang pergi dan menetap di bittung.
Mereka inilah yang menjadi sumber asal sehingga orang mandar menyatakan diri bersaudara dengan orang Toraja, Luwu', Bugis, dan Gowa-Makassar.
 Adapun wilayah negeri Pitu Ulunna Salu', disebut Tabulahan, terdiri atas: Aralle, Mambi, Bambang, Rantepulahan atau Rantebulawan, Matanga, Tabang atau Tandong, Tu'bi. Pada mulnya, pemimpin Tabulhan adalaha Tumakaka bernama Indo-Lita'. Adapun negeri-negeri dalam kawasan Pitu Ba'bana Binanga ialah: Balanipa, Sendana, Banggae, Pamboang, Tappalang, Mamuju, Binuang.

Menurut perkiraan, negeri Kalumpang adalah salah satu pemukiman tertua orang mandar. Diceritakan bahwa dikalumpang tempatnya pengembangan awal tradisi kehidupan sosial budaya Orang Mandar. Dikisahkan, seorang perempuan bernama Lambere' Susu bermukim di kalumpang. Dia adalah anak dari Pa'doran yang bermukim di Ulu Sa'dan. Juga disebut orang bernama Tobabina, anak dari Pongkopadang, cikal bakal orang Pitu ulunna salu', dan pitu ba'bana binanga. Tobabina pergi dan bermukim di Kalumpang. Dalam tradisi lisan Tana Toraj, disebut Pongkopadang memiliki Tongkonan Layuk di tabulahan, Pitu Ulunna Salu'.
Anak cucu Lambere' susu dan Tobabina menurunkan lebih lanjut para Tomakaka. Yaitu pemimpin masyarakat di kawasan Pitu Ulunna Salu' dan Pitu Ba'bana Binganga. Pada umumnya diceritakan bahwa ada empat puluh orang tumakaka terbesar di seluruh kawasan itu. Memimpin rakyatnya pada masing-masing daerah kaum yang sekarang kebanyakan masih ada dalam status desa.
 

Konsepsi kepemimpinan Tomakaka adalah salah satu jenis kepemimpinan asli kaum yang meletakkan dasar-dasar Ada'-Tana (ada' lita' mandar), pada zaman pra-tomanurung. Seperti dengan adanya arruan-ampu lembang di Tana Toraja. kepemimpinan Tomakaka adalah salah satu variasi konsepsi kepemimpinan "kerakyatan" yang berlangsung sampai abad XIV, yang kurang kuat tersentuh oleh konsepsi kepemimpinan To-manurung. maka kepemimpinan Tomakaka di kawsan Pitu Ulunna Salu' berkelanjutan walaupun mendapat pengruh warna kepemimpinan Arruan-Ampu Lembang dari Tana Toraja dan Matoa-Ulu-Anang dari Mugis.

Kepemimpinn Tomakaka di kawasan Pitu Ba'bana Binganga dapat bertahan hingga abad XV dengan terangkatnya I Mannayambungi Todilaling menjadi Mara'dia Balanipa yang pertama. Ia meresapkan dalam pemikiran dan tindakan-tindakannya konsepsi kepemimpina To-manurung dan Bate-Salapang yang dialaminya di Butta-gowa. Konsepsi ini memisahkan dengan jelas keturunan To-manurung, sebagai "orang dari luar" dan Bate-Salapang sebagai penguasa asli Pangadakkang Butta Gowa. Begitulah Mara'dia, sepertinya diperlakukan sebgai penguasa yang berasal dari luar (mengikuti penguasa to-manurung ri gowa) disamping tetap adanya tumakaka atau apapun namanya, yang tetap diperlakukan sebagai pemilik asli adat lita' mandar. Sapaan terhadap Mara'dia adalah Daeng, seperti orang gowa terhadap Bate-Salapang. Dan sapaan terhadap Tomakaka
adalah Puang, seperti orang toraja dan orang bugis terhadap pemimpin-pemimpinnya.
Di kwasan Pitu Ba'bana Binganga, para tumakaka mengangkat banyak pejabat pembantu untuk berbagai urusan kesejahteraan rakyat seperti Pa'bicara, Tomawueng dan sebagainya yang secara langsung mengurus kepentingan rakyat. Walaupun hal itu dilakukan atas nama Tomakaka, tapi lambat laun, tokoh Tomakaka yang semakin mengurangi penampilannya di mata rakyat, kehilangan simpati rakyat yang semakin memperlebar jaraknya. Itulah sebabnya, konsepsi kepemimpinan Mara'dia yang di bawa oleh I Mannambungi Todilaling mendapat sambutan seolah-olah mengembalikan esensi kepemimpinan dan kewibawaan Tomakaka.


Kepemimpinan Mara'dia sebagai sebagai pemimpin kekuasaan pemerintahan, didampingi oleh kaum adat (pa'riba ada'), untuk memelihara kepentingan rakyat dan Lita'. Sebelum memangku jabatan Mara'dia, diadakan semacam perjanjian yang disepakati oelh Tomakaka (Pa'riba ada').Menurut berbagai Lontar mandar dan tradisi lisan di mandar, perjanjian itu sudah berlaku sejak tomakaka napo i daeng lumale dan diteruskan kepada para penguasa selanjutnya, baik ia disebut tomakaka maupun mara'dia.


Melaut bagi suku Mandar merupakan penyatuan diri dengan laut. Laut menjadi tempat mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membangun identitasnya. Mencari penghidupan di laut (sebagai nelayan) bukanlah pekerjaan sembarangan bagi orang Mandar. Mereka tahu betul bagaimana beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di laut. Oleh karenanya, benar apa yang dikatakan Chistian Pelras dalam bukunya yang berjudul ”Manusia Bugis” (2006), bahwa orang-orang Mandar merupakan pelaut ulung. Mereka tidak akan bisa hilang dan tersesat di lautan.
Interaksi masyarakat Mandar dengan lautan menghasilkan pola pengetahuan yang berhubungan dengan laut, yaitu: berlayar (paissangang asumombalang), kelautan (paissangang aposasiang), keperahuan (paissangang paalopiang), dan kegaiban (paissangang). Pengejawantahan dari pengetahuan tersebut di antaranya adalah: rumpon atau roppong dan Perahu Sandeq. Rumpon merupakan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan yang diciptakan oleh para pelaut Mandar. Perangkap ini terbuat dari rangkaian daun kelapa dan rumput laut. Sedangkan Perahu Sandeq merupakan perahu layar bercadik yang khas Mandar, ramah lingkungan, dan tercepat di kawasan Austronesia.


Perahu khas Mandar ini terbuat dari kayu, sehingga sekilas terkesan rapuh. Namun jika membaca sejarahnya, akan diketahui bahwa perahu yang terkesan rapuh itu mampu dengan lincah mengarungi lautan luas. Panjang lambungnya 7-11 meter dengan lebar 60-80 sentimeter, dan di kiri-kanannya dipasang cadik dari bambu sebagai penyeimbang. Untuk berlayar, perahu tradisional ini mengandalkan dorongan angin yang ditangkap dengan layar berbentuk segitiga. Layar itu mampu mendorong Sandeq hingga berkecepatan 20 knot. Kecepatan maksimum melebihi laju perahu motor seperti katinting, kapal, dan bodi-bodi.
Sandeq juga sanggup bertahan menghadapi angin dan gelombang saat mengejar kawanan ikan tuna. Para pembuat Sandeq dengan cermat merancang perahu yang tangguh untuk memburu kawanan ikan, khususnya untuk mengejar kawanan ikan tuna yang sedang bermigrasi. Oleh karenanya, perahu yang dibuat harus bisa melaju cepat. Perahu ini juga digunakan para nelayan untuk memasang perangkap (rumpon) pada musim ikan terbang bertelur (motangnga).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar