Gayo selain sebagai sebuah etnis, juga merupakan sebuah ibukota Kabupaten Aceh Tengah. Wilayahnya yang berada di dataran tinggi dengan Danau Laut Tawar, menunjukkan jatidirinya sebagai sebuah wilayah yang kaya akan keindahan alam juga budaya. Salah satu dari budaya Gayo yang utama adalah didong. Didong diperkenalkan oleh seorang tokoh bernama Abdul Kadir To’et. Didong berasal dari kata din dan dong. Din berarti agama dan dong berarti dakwah.
Dalam pemahaman yang lebih luas didong digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama Islam melalui media syair. Jadi dalam menyampaikan dakwah, tokoh didong tidak hanya mampu mengenal cerita-cerita religius tetapi juga dituntut mampu bersyair, memiliki suara yangmerdu serta berprilaku baik. Pendek kata, seorang pedidong adalah seorang seniman sejati yang memiliki kelebihan di segala aspek. Dalam perkembangannya, didong pernah digunakan sebagai sarana hiburan bagi kolonial Jepang sewaktu pendudukan di tanah Gayo. Hal ini memberikan inspirasi bagi masyarakat Gayo untuk mengembangkan didong yang syairnya tidak hanya terpaku kepada hal-hal religius, tetapi permasalahan sosial juga dianggap perlu disyairkan. Seperti sejarah, alam lingkungan dan lain-lain.
Pada perkembangannya kesenian didong telah melahirkan banyak ceh-ceh, Sali Gobal(1915-1975), Ceh Tujuh, Ceh Semaun, Ceh Lakiki (M. Basir), Ceh Damha (Utih Serasah), Ceh Win Kol, Ceh Apit, M.din, Abdul rauf , Ceh To’et (Abdul Kadir).Ibrahim Kadir mulai menulis sayir-syair didong sejak berumur sepuluh tahun, namum karena usianya yang sangat muda itu membuat masyarakat enggan menerima karya-karyanya. Akan tetapi setelah menunggu cukup lama, hampir tiga puluh tahun akhirnya karya-karya Ibrahim Kadir dapat mengisi ruang kosong kesenian Gayo. Diantara karyanya banyak yang dinyanyikan oleh gadis-gadis.
Sesuai fungsi awalnya didong dipentaskan berkaitan dengan hari-hari besar agama Islam dan dalam perkembangannya dipentaskan pada acara-acara besar seperti perkawinan, penyambutan tamu atau hari besar nasional. Namun ide dasar akan dakwah tetap dipertahankan, hanya saja tidak materinya lebih berkembang. Berbeda dengan awalnya didong yang hanya dimainkan dengan penuh kesederhanaan baik dari sisi jumlah pelantunnya serta pengiringnya, sekarang didong umumnya dimainkan oleh sebuah kelompok yang jumlahnya mencapai 30 orang, termasuk di dalamnya penyairnya 4 sampai 5 orang dan selebihnya adalah pengiring. Kelompok didong umumnya adalah laki-laki dewasa, namun dalam perkembangannya ada juga kelompok didong perempuan dewasa dan ada juga kelompok didong remaja serta ada juga yang campuran. Kelompok didong campuran itu perempuannya biasanya hanya terbatas sebagai seorang penyair.
Melantunkan syair didong memang tidak mudah, membutuhkan waktu semalam suntuk untuk menyairkan didong, pada masa perkemba- ngannya didong dimainkan oleh dua kelompok, masing-masing dari mereka terdiri sepuluh hingga tujuh belas orang. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman didong sering dipentaskan dalam acara perlombaan dan pagelaran kesenian yang seyogyanya didong dimainkan semalam suntuk kini dimainkan selama lima menit saja. Selain itu didong juga digunakan untuk menggalang dana pembangunan masjid. Layaknya sebuah pergelaran kesenian umumnya, didong juga membutuhkan penghayatan dan pemaknaan maksud dari pesan yang disampaikan. Dalam kesenian didong, pemeran utama yang menyampaikan syair-syair disebut sebagai “ceh” , untuk dapat menjadi seorang ceh tentunya tidak mudah, membutuhkan keterampilan khsusus agar dapat melantunkan syair didong. Sedangkan yang lainnya disebut “penepok”, penepok hanya berperan sebagai pemusik dengan cara menepukkan tangan.
Didong umumnya dimainkan secara turun menururun artinya pemahaman akan budaya ini minimal ditularkan ke anak cucu. Didong dilantunkan semalam suntuk dengan iringan tepukan bantal dan tepukan tangan. Dalam perkembangannya ada juga menggunakan seruling, harmonika, dan alat musik lainnya yang disisipi dengan gerak pengiring yang relatif sederhana yaitu menggerakkan badan ke depan atau ke samping. Pada awalnya ceh didong (seniman didong) tidak semata-mata menyampaikan tutur kepada penonton yang dibalut dengan nilai-nilai estetika, melainkan di dalamnya bertujuan agar masyarakat Gayo diajak untuk hidup sesuai dengan realitas akan kehidupan para Nabi dan tokoh yang sesuai dengan Islam. Dalam didong ada nilai-nilai religius, nilai-nilai keindahan, ada nilai-nilai kebersamaan namun yang terjadi adalah medernisasi akan pemahaman didong baik dari sisi pendukung maupun syairnya yang sering menyairkan potret prilaku muda-mudi, mencaci prilaku pemimpin ataupun ajakan untuk memilih partai tertentu dalam kegiatan kampanye atau digunakan sebagai sarana untuk mengumpulkan sumbangan.
Dalam konteks dakwah bagaimana ajaran-ajaran Islam dapat dipahami masyarakat dalam kondisi yang menyenangkan, sehingga tidak memunculkan keterpaksaan merupakan suatu strtegi yang baik bagi penanaman nilai-nilai agama. Didong pada masa sekarang lebih mengutamakan keseragaman gerak dengan pemaknaan yang dangkal. Perubahan budaya dapat kita mengerti sebagai sebuah gerak kehidupan sehingga didong mampu membawa penonton ke alam cehnya. Sehingga petuah atau kerinduan akan kampung halaman masih dapat dirasakan, artinya kebudayaan hanya tidak sekedar dimainkan tetapi diperlukan penghayatan sehingga lebih bermakna, sekaligus sebagai alat kontrol sosial bagi masyarakat dalam menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar