Kelenteng Jin De Yuan merupakan salah satu kelenteng yang tertua di wilayah Jakarta, didirikan pertama kali pada 1650 oleh seorang Letnan keturunan Cina bernama Kwee Hoen. Kelenteng Jin De Yuan (Kim Tek Ie) ini berada di Jl. Kemenangan III No. 13 (Petak 9) Glodok, Jakarta Barat, dan karena mengikuti aliran Budha Mahayana maka di dalam Kelenteng Jin De Yuan terdapat banyak arca yang dipuja oleh penganut kepercayaan Tao, Confucius maupun Budha. Di depan Kelenteng Jin De Yuan terdapat pula dua buah kelenteng lagi yang usianya lebih muda. Ketika berkunjung ke Kelenteng Jin De Yuan, saya menjumpai banyak sekali pengemis yang menunggu derma di halaman luar kelenteng. Tampaknya hanya pada hari-hari tertentu derma itu dibagikan.
Tampak muka Kelenteng Jin De Yuan, dengan sebuah hiolo (tempat hio) berukuran besar diletakkan di bawah cungkup berbentuk segi delapan bersusun dua dengan puncak berbentuk bunga teratai. Dominasi warna merah dan kuning terlihat di Kelenteng Jin De Yuan ini. Di kiri kanan tembok terdapat lubang angin berbentuk bundar yang dipenuhi ukiran dengan ornamen utama berupa mahluk sakti Qi-Lin (kuda bercula satu), yang melambangkan keberuntungan besar.
Seorang pria baru saja memasuki pintu gerbang bangunan utama Kelenteng Jin De Yuan, dengan ukiran binatang, vas, dan bunga pada dinding kiri dan kanan. Binatang yang disebelah kiri berbadan kuda berkepala gajah, sedangkan yang di sebelah kanan berkepala harimau. Dua buah lentera segi empat bersusun tampak menggantung di kiri dan kanan yang dilukis dengan gambar naga dan burung hong. Ukiran naga berwarna kuning keemasan menempel pula di bawah pilar kayu, di atas pintu.
Tepat setelah pintu masuk Kelenteng Jin De Yuan terdapat arca Giok Hong Siong Te, Dewa Pertama Alam Langit, Dewata Tertinggi yang memerintah alam semesta yang dibantu dewa-dewa lainnya.Menurut cerita, Giok Hong Tai Tee adalah putra Raja Jing De & Ratu Bao Yue Guang dari negeri Guang Yan Miao Le, yang melepaskan kedudukan Raja dan pergi ke gunung dan menjadi Maha Dewa setelah melewati berbagai ujian. Giok Hong Tai Tee bertahta di langit ke-33, di istana Ling Xiao Bao Dian, atau Istana Halimun Mukjizat.
Sebuah tambur tua yang menggantung di Kelenteng Jin De Yuan, yang biasanya dipakai pada saat memulai acara besar di kelenteng. Masjid-masjid di Jawa umumnya menggunakan bedug sebagai penanda masuk wakut sholat, yang tidak terdapat di masjid-masjid di Timur Tengah atau di tempat lain. Masuknya bedug ke dalam masjid mungkin karena sebagian Wali Songo berasal dari keturunan Cina.
Seorang ibu yang rambutnya sudah memutih sedang bersembahyang dengan membakar dua tangkup hio di depan altar Sam Koan Tay Tee Kelenteng Jin De Yuan. Sam Koan Tay Tee atau Sam Goan Kong, sebagai Tri Murti Tao merupakan wakil Tuhan di dunia dalam wujud Kaisar Tiga Dunia (Langit, Bumi dan Air), yaitu Kaisar Giauw (2275 – 2258 SM) yang memberi rahmat pada umat manusia; Kaisar Sun (2225 – 2208 SM) yang memberi pengampunan dosa pada roh-roh di akhirat, dan umat manusia di dunia; dan Kaisar Ie (2205 – 2197 SM) yang menjaga kelestarian bumi dari bencana banjir dan bencana alam lainnya.
Sebuah lorong di Kelenteng Jin De Yuan yang dihias lidah-lidah api yang berasal deretan lilin merah berukuran sangat besar. Bagi masyarakat Cina, lilin adalah salah satu perlengkapan penting dalam melakukan sembahyang di kelenteng. Sebuah lilin dengan tinggi dua meter dan diameter 50 cm bisa berharga sampai sembilan juta rupiah. Selain sebagai penerang, lilin-lilin itu juga diberi aroma agar lebih sedap tercium hidung ketika dibakar.
Chiu Koan Im di Kelenteng Jin De Yuan. Kwan Im Pho Sat telah dikenal di Cina purba dengan sebutan Pek Ie Tai Su, Dewi berjubah putih yang welas asih. Setelah agama Buddha masuk ke Cina di akhir masa pemerintahan Dinasti Han, Kwan Im Pho Sat dipercaya sebagai perwujudan Buddha Avalokitesvara. Kwan Sie Im Pho Sat adalah perwujudannya sebagai pria.
Sebuah hiolo berwarna kuning keemasan di Kelenteng Jin De Yuan dengan ukiran kepala naga yang tampak garang di permukaan badan hiolo, serta ukiran dua naga yang berjaga pada kedua sisinya. Bentuk asap hio ketika dibakar dipercaya memberi petunjuk apakah doanya akan langsung diterima oleh para dewa di langit.
Altar Er Lang Shen / Thian Kou di Kelenteng Jin De Yuan. Er Lang Shen adalah Malaikat Pelindung Kota Sungai, yang hidup di zaman dinasti Qin, dan merupakan putra Li Bing, Gubernur dari propinsi Xi Chuan.
Altar Cay Sin Ya di Kelenteng Jin De Yuan, yang diapit sepasang naga emas dengan ekor tegak lurus ke atas. Semasa hidupnya, Cay Sin Ya adalah menteri bijaksana yang menjabat di akhir masa Dinasti Siang (1766 – 1123 SM). Ia dipercaya sebagai titisan Dewa Bintang Sastra Bun Khiok Seng, dan sebagai Dewa Harta Sipil, kekuasaanya adalah untuk menjaga harta kekayaan.
Atap Kelenteng Jin De Yuan dilihat dari belakang, dengan dua ekor naga yang tengah berebut sebutir mutiara.
Konon dalam perjalanan Ke Utara, Giok Hong Tai Te berniat turun ke dunia dan terlahir beberapa kali sebagai putra mahkota yang meninggalkan kehidupan dunia untuk menjadi pertapa, sampai akhirnya mencapai tingkatan dewa bergelar Hian Thian Siang Te. Kekuasaannya meliputi seluruh Langit Utara, dan ia menaklukan berbagai siluman, termasuk siluman ular dan siluman kura-kura. Sedangkan Hian Than Kong adalah salah satu titisan Dewa Bintang Harta (Cay Pek Seng Kun), yang kekuasaannya memberi berkah dan rezeki kepada umat manusia. Hian Than Kong biasanya digambarkan tengah menunggang harimau hitam (Hek Houw), memegang ruyung dan emas lantakan.
Lentera dan ornamen pada pintu gerbang masuk ke bangunan utama Kelenteng Jin De Yuan.
Altar pemujaan Seng Hong Ya, Thay Swee Ya dan Kong Tek Cun Ong di sayap sebelah kanan di Kelenteng Jin De Yuan. Seng Hong Ya adalah penguasa di alam baka namun kekuasaannya juga termasuk di alam dunia. Ia dipuja sebagai contoh bagi pejabat tinggi yang jujur dan idealis. Thay Swee Ya adalah salah satu dari 60 Dewa Bintang. Menurut kepercayaan, bila shio seseorang sama dengan shio pada tahun berjalan, maka kondisinya dinamakan Ciong Thay Swee (kurang harmonis), dan harus lebih banyak bersembahyang kepada Thay Swee Ya agar terhindar dari hal yang merugikan. Kong Tek Cun Ong, yang hidup pada jaman Dinasti Song, adalah Dewa Pelindung dari berbagai malapetaka, baik yang ditimbulkan oleh air, api, perampokan dan lain-lain.
Sebuah tempat pembakaran di Kelenteng Jin De Yuan.
Altar Cu Sin Nio Nio, Hwa Kong, dan Hwa Pho, Dewa Perjodohan / Rumah Tangga, yang berada di sayap kanan Kelenteng Jin De Yuan, bagi yang ingin meminta perjodohan dan meminta keturunan.
Ornamen pada langit-langit bangunan utama Kelenteng Jin De Yuan. Ketika usia Kelenteng Jin De Yuan ini mencapai hampir seabad, tepatnya pada 9 – 12 Oktober 1740, terjadi peristiwa pembantaian sekitar 10.000 orang etnis Cina di Jakarta oleh penjajah Belanda, yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Pembantaian Angke. Kelenteng Jin De Yuan ikut pula dirusak dan dibakar dalam peristiwa ini.
Sebuah genta tua menggantung di bawah pilar kayu Kelenteng Jin De Yuan, suatu perlengkapan sembahyang yang selalu ada pada setiap kelenteng.
Kelenteng Jin De Yuan dipugar pada tahun 1755 oleh Kapitein Oei Tjhie dan diberi nama Kim Tek Ie, yang merupakan penyebutan nama kelenteng dalam dialek Hok Kian. Kelenteng Jin De Yuan dibangun di atas tanah seluas 3.000 m2, sehingga termasuk sebuah biara besar (Tay Bio).
Pada permukaan papan di sebelah kiri dan kanan pintu utama, terdapat tulisan dalam bahasa Cina yang berbunyi: “Kim Teng Kiat Siang In, Pian Khay Hoat Kay” yang berarti “Pedupaan Emas membentuk Awan Kebahagiaan, semua tempat terbuka demikian pula Alam Dharma”, dan “Tek Bun Theng Sui Khi, Kong Pho Jin Khan” yang berarti “Gerbang Kebajikan menampakkan atmosfir Kejayaan, menyebar luas di alam semesta. Disini terdapat salah satu dari sepasang singa (Bao-gu shi) penunggu Kelenteng Jin De Yuan yang dibuat pada abad ke-18, berasal dari propinsi Kwangtung, Cina Selatan.
Halaman Kelenteng Jin De Yuan yang bersih dan terawat dengan baik. Kelenteng Jin De Yuan, karena usianya yang sudah sangat tua serta sejarah panjang yang mengikutinya, merupakan sebuah tempat yang banyak menarik pengunjung, baik mereka yang ingin bersembahyang maupun yang sekadar ingin melihat dan mengagumi keindahan ornamen kelenteng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar