Warga Jakarta pasti sering mendengar atau melintasi jalan Daan Mogot di Jakarta Barat. Jalan yang terbentang dari perempatan Grogol hingga Tangerang. Tapi apakah banyak yang tahu bahwa nama jalan Daan Mogot itu berasal dari sebuah nama seorang pemuda? Pemuda belia itu bernama Elias Daniel Mogot. Pemuda ini cukup mengagumkan. Bayangkan ketika anak-anak saat ini yang berumur 14 tahun masih doyan main playstation ataupun ber-FB ria, ternyata saat umur 14 tahun Daan Mogot sudah ikut berperang. Daan Mogot lahir di Manado, 28 Desember 1928 dan meninggal di Lengkong, Tangerang, 25 Januari 1946 (pada umur 17 tahun) adalah seorang pejuang dan pelatih anggota PETA di Bali dan Jakarta pada tahun 1942. Setelah Perang Dunia ke-2 selesai, ia menjadi Komandan TKR di Jakarta dengan pangkat Mayor. Bulan November 1945 menjadi pendiri sekaligus Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang (MAT) dalam usia 17 tahun. Ia gugur di Hutan Lengkong bersama 36 orang lainnya dalam pertempuran melawan tentara Jepang saat hendak melucuti senjata mereka di Hutan Lengkong di Tangerang.
Daan Mogot lahir di Manado pada tanggal 28 Desember 1928 dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang (Mien) dengan nama Elias Daniel Mogot. Ayahnya ketika itu adalah Hukum Besar Ratahan. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara. Saudara sepupunya antara lain Kolonel Alex E. Kawilarang (Panglima Siliwangi, serta Panglima Besar Permesta) dan Irjen. Pol. A. Gordon Mogot (mantan Kapolda Sulut).
Pada tahun 1939, yaitu ketika ia berumur 11 tahun, keluarganya pindah dari Manado ke Batavia (Jakarta sekarang) dan menempati rumah di jalan yang sekarang bernama Jalan Cut Meutiah – Jakarta Pusat. Di Batavia, ayahnya diangkat menjadi anggota VOLKSRAAD (Dewan Rakyat masa Hindia-Belanda). Kemudian ayahnya diangkat sebagai Kepala Penjara Cipinang.
Pada masa Pendudukan Jepang, ia masuk dalam organisasi militer pribumi bentukan Jepang di Jawa, yaitu Pembela Tanah Air atau PETA. Waktu itu tahun 1942, ia menjadi anggota PETA angkatan pertama. Sebenarnya usia Daan Mogot belum memenuhi syarat yang ditentukan pihak Jepang yakni 18 tahun. Waktu itu ia berumur 14 tahun. Karena prestasinya, ia diangkat menjadi pelatih anggota PETA di Bali, kemudian dipindahkan di Jakarta. Semasa di Bali, ia mendapatkan dua sahabat sejati yaitu Kemal Idris dan Zulkifli Lubis.
Mereka yang berasal dari Seinen Dojo oleh instruktur Jepang diangkat sebagi Instruktur Pembantu. Sebab, latihan yang akan diberikan kepada mereka jauh lebih ringan dari latihan yang pernah diterima pada masa Seinen Dojo di Tangerang. Pendidikan dan latihan itu dapat terlaksana sampai empat angkatan. Angkatan pertama mulai bulan Desember 1943 dan angkatan keempat, terakhir selesai bulan Juli 1945, sebelum Jepang takluk pada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945.
Ada 50 orang yang diambil dari peserta latihan angkatan pertama untuk mengikuti pendidikan “guerilla warfare” di bawah pimpinan Kapten Yanagawa. Di antara mereka yang ikut latihan khusus itu adalah Daan Mogot, Kemal Idris, Zulkifli Lubis, Kusno Wibowo, Sabirin Mukhtar, Syatibi dan Effendi. Jenis latihan yang diberikan antara lain bagaimana cara memelihara burung merpati, karena burung itu dapat dipergunakan untuk alat komunikasi. Di samping itu mereka dilatih bagaimana menggunakan senjata yang baik untuk menghadapi lawan. Setelah ke-50 orang itu dilantik menjadi perwira, mereka tidak lagi bertugas sebagai Instruktur Pembantu, melainkan menjadi Shodancho.
Setelah dilantik menjadi perwira PETA, masing-masing perwira dikembalikan ke daerah asalnya. Di Bali, Daan Mogot, Zulkifli Lubis dan Kemal Idris bersama beberapa perwira PETA lainnya mendirikan serta melatih para calon PETA di sana. Alasan Jepang mendirikan PETA di Bali, karena Bali dianggap merupakan daerah pertahanan dan tempat pendaratan. Untuk itu kekuatan dipersiapkan, terutama di daerah Nagara dan Klungkung. Jepang memberikan kepercayaan kepada Daan Mogot melatih di Tabanan, Kemal Idris di Nagara dan Zulkifli Lubis di Klungkung. Sekalipun ketiga sahabat itu terpisah-pisah tempat tugasnya, namun mereka selalu mengadakan kontak, baik membicarakan hal yang berhubungan dengan latihan maupun tentang nasib rakyat yang sedang menderita di bawah telapak penjajah. Kegiatan latihan yang spesifik saat itu ialah mempersiapkan pertahanan guna menghadapi serangan musuh di pantai. Selama setahun para Shodancho di Bali menjalankan tugas dengan baik. Tahun selanjutnya mereka harus berpisah. Empat orang Shodancho harus kembali ke Jawa, sedangkan Daan Mogot, Zulkifli Lubis, dan Kemal Idris yang tetap tinggal. Mereka bertindak sebagai instruktur PETA, memberikan latihan kepada calon-calon perwira hingga mereka mahir dalam berbagai bidang ketentaraan.
Pada tahun 1945 ketika Republik Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, Daan Mogot menjadi salah seorang tokoh pemimpin Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pangkat Mayor. Ini suatu keunikan pada masa itu, Mayor Daan Mogot baru berusia 16 tahun!
Di sana Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk pada tanggal 23 Agustus 1945 mendirikan markasnya di Jalan Cilacap No. 5 untuk daerah Keresidenan Jakarta, empat hari sesudah pembentukannya. Moefreini Moe’min, seorang bekas syodancho dari Jakarta Daidan I ditunjuk sebagai pimpinannya. Sejumlah perwira yang bergerak di situ adalah Singgih, Daan Yahya, Kemal Idris, Daan Mogot, Islam Salim, Jopie Bolang, Oetardjo, Sadikin (Resimen Cikampek), Darsono (Resimen Cikampek), dan lain-lain.
Daan Mogot memang terkenal dalam sejarah zaman revolusi perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada pertempuran di hutan Lengkong-Serpong Tangerang Banten, ketika Taruna Akademi Militer Tangerang yang dipimpinnya berusaha merebut senjata dari pihak tentara Jepang tanggal 25 Januari 1946.
Ironisnya, sementara ia berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia bahkan rela gugur di medan pertempuran, ayahnya tewas dibunuh para perampok yang menganggap ”orang Manado” (orang Minahasa) sebagai londoh-londoh (antek-antek) Belanda.
Suatu ketika, Mayor Daan Mogot bertemu dengan sepupunya Alex Kawilarang. Dengan mengenakan peci hijau, ia menuruni sepeda motornya. Pemuda berusia 17 tahun itu kemudian dijemput oleh Alex di pinggir jalan, dan ia pun menunjukkan muka gembira. Pertemuan yang hangat terjadi. Kemudian mereka mengobrol di dalam rumah. Daan Mogot bercerita bahwa ia sekarang tinggal di Jalan Asem Baru, menumpang pada keluarga Singgih. Segera disambungnya cerita mengenai perjuangan. Tentang serangan di Pondok Gede. Ia juga cerita tentang ayahnya yang baru saja dibunuh, tidak diketahui dengan pasti oleh siapa. “Banyak benar anarki terjadi di sini,” kata Alex. “Memang, itu yang mesti torang bereskan. Oleh karena itu, senjata harus berada di torang pe tangan” sambung Daan. Katanya lagi kepada Alex, “Torang, orang Manado, jangan berbuat yang bukan-bukan. Awas, hati-hati! Torang musti benar-benar menunjukkan, di pihak mana kita berada.”
Lalu Daan bercerita pula mengenai pemikirannya tentang sebuah perguruan untuk mendidik para pemuda yang mau menjadi tentara, yang kemudian ternyata terlaksana, ialah didirikannya “militer akademi” (akademi militer) pada tanggal 18 November 1945 di Tangerang.
Sebagai sponsor terwujudnya gagasan mendirikan sekolah akademi militer, maka tanggal 18 November 1945 ia dilantik menjadi Direktur Militer Akademi Tangerang (MAT) pada waktu ia berusia 17 tahun. Sebenarnya di Yogyakarta juga berdiri Militer Akademi Yogya (MA Yogya) hampir bersamaan, yaitu tanggal 5 November 1945. Ide mendirikan sebuah akademi militer ini memang seperti yang diangan-angankan oleh Daan Mogot.
Ide pendirian Militer Akademi Tangerang itu datang dari empat orang: Daan Mogot, Kemal Idris, Daan Yahya dan Taswin.
Pada tahap awal ada 180 orang Calon Taruna pertama yang dilatih. Di antara mereka terdapat mahasiswa yang berasal dari Sekolah Kedokteran Ika Daigaku Jakarta. Ada di antara mereka yang menjadi komandan peleton, komandan kompi bahkan komandan batalyon. Sejumlah perwira dan bintara yang menjadi pelatih/instruktur MAT antara lain Kapten Taswin, Kapten Tommy Prawirasuta, Kapten Rukman, Kapten Kemal Idris, Kapten Oscar (Otje) Mochtan, Kapten Jopie Bolang, Kapten Endjon Djajaroekmantara, Sersan Bahruddin, Sersan Sirodz. Di Resimen Tangerang Taswin bertugas di staf sedangkan Kemal Idris di pasukan. Pada tanggal 30 November 1945 dilakukan perundingan antara Indonesia dengan delegasi Sekutu. Indonesia diwakili oleh Wakil Menteri Luar Negeri Agoes Salim yang didampingi oleh dua dua perwira TKR yaitu Mayor Wibowo dan Mayor Oetarjo. Sedangkan pihak Sekutu (Inggris), Brigadir ICA Lauder didampingi oleh Letkol Vanderpost (Afrika Selatan) dan Mayor West.
Pertemuan yang merupakan Meeting of Minds, menghasilkan ketetapan tentang pengambil-alihan primary objectives tentara Sekutu oleh TKR yang meliputi perlucutan senjata dan pemulangan 35 ribu tentara Jepang yang masih di Indonesia, pembebasan dan pemulangan Allied Prisoners of War and Internees (APWI) yang kebanyakan terdiri dari lelaki tua, wanita, dan anak-anak berkebangsaan Belanda dan Inggris sebanyak 36 ribu. Berdasarkan kesepakatan 30 November 1945, tentara Sekutu tidak lagi memiliki alasan untuk memasuki wilayah kekuasaan Indonesia maupun menggunakan tentara Jepang untuk memerangi Indonesia dengan dalih mempertahankan status quo pra- Proklamasi. Perintah itu disampaikan oleh pihak Sekutu kepada Panglima Tentara Jepang Letjen Nagano. Sekitar tanggal 5 Desember 1945 ditegaskan oleh Kolonel Yashimoto dari pimpinan tentara Jepang kepada pimpinan Kantor Penghubung TKR di Jakarta cq Mayor Oetarjo bahwa para komandan tentara Jepang setempat sesuai dengan keputusan pimpinan tentara Sekutu, telah diperintahkan tunduk kepada para komandan TKR setempat yang bertanggung jawab atas pemulangan mereka.
Pada tanggal 24 Januari 1946 Mayor Daan Yahya menerima informasi bahwa pasukan NICA Belanda sudah menduduki Parung dan akan melakukan gerakan merebut depot senjata tentara Jepang di depot Lengkong (belakangan diketahui bahwa Parung baru diduduki NICA bulan Maret 1946). Tindakan-tindakan provokatif NICA Belanda itu akan mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang dan Akademi Militer Tangerang secara serius. Sebab itu pihak Resimen IV Tangerang mengadakan tindakan pengamanan. Mayor Daan Yahya selaku Kepala Staf Resimen, segera memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang.
Tanggal 25 Januari 1946 lewat tengah hari sekitar pukul 14.00, setelah melapor kepada komandan Resimen IV Tangerang Letkol Singgih, berangkatlah pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70 taruna MA Tangerang (MAT) dan delapan tentara Gurkha. Selain taruna, dalam pasukan itu terdapat beberapa orang perwira yaitu Mayor Wibowo, Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo. Kedua Perwira Pertama ini adalah perwira polisi tentara (Corps Polisi Militer/CPM sekarang). Ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata Jepang yang sudah menyerah kepada sekutu diserahkan kepada KNIL-NICA Belanda yang waktu itu sudah sampai di Sukabumi menuju Jakarta. Dengan mengendarai tiga truk dan satu jip militer hasil rampasan dari Inggris, para prajurit berangkat dan sampai di markas Jepang Lengkong pukul 16.00 WIB. Di depan pintu gerbang, truk diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dengan Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo, dan taruna Alex Sajoeti (fasih bahasa Jepang) berjalan di depan. Pasukan taruna diserahkan kepada Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo untuk menunggu di luar.
Kapten Abe, dari pihak Jepang, menerima ketiganya di dalam markas. Mendengar penjelasan maksud kedatangan mereka, Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta. Ia beralasan bahwa ia belum mendapat perintah atasannya tentang perlucutan senjata. Saat perundingan berjalan, ternyata Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan para taruna memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana dengan kerelaan dari anak buah Kapten Abe. 40 orang Jepang telah terkumpulkan di lapangan.
Namun entah mengapa, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan yang tidak diketahui dari mana asalnya. Disusul tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang diarahkan kepada pasukan taruna yang terjebak. Tentara Jepang yang berbaris di lapangan ikut pula memberikan perlawanan dengan merebut kembali sebagian senjata mereka yang belum sempat dimuat ke dalam truk milik TKR.
Terjadilah pertempuran yang tak seimbang, apalagi pengalaman tempur dan persenjataan para Taruna tak sebanding dsengan pihak Jepang. Taruna MAT menjadi sasaran empuk, diterjang oleh senapan mesin, lemparan granat serta perkelahian sangkur seorang lawan seorang.
Ketika mendengar pecahnya pertempuran, Mayor Daan Mogot segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran namun upaya itu tidak berhasil. Mayor Daan Mogot bersama beberapa pasukannya menyingkir meninggalkan asrama tentara Jepang, memasuki hutan karet yang dikenal sebagai hutan Lengkong.
Namun Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet mengalami kesulitan menggunakan karaben Terni yang dimiliki. Sering peluru yang dimasukkan ke kamar-kamarnya tidak pas karena ukuran berbeda atau sering macet. Pertempuran ini tidak berlangsung lama, karena pasukan itu bertempur di dalam perbentengan Jepang dengan persenjataan dan persediaan peluru yang amat terbatas.
Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.
Dari pertempuran di hutan Lengkong, 33 taruna dan 3 perwira gugur serta 10 taruna luka berat. Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, hanya 3 taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi hari.
Pasukan Jepang selanjutnya bertindak penuh kebuasan. Mereka yang telah luka terkena peluru dan masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap sesudah keluar dari tempat perlindungan, lalu diserahkan kepada Kempetai Bogor. Beberapa orang yang masih hidup (walau mereka dalam keadaan terluka) dipaksa untuk menggali kubur bagi teman-temannya.
Tanggal 29 Januari 1946 di Tangerang diselenggarakan pemakaman kembali 36 jenasah yang gugur dalam peristiwa Lengkong disusul seorang taruna Soekardi yang luka berat namun akhirnya meninggal di RS Tangerang. Mereka dikuburkan di dekat penjara anak-anak Tangerang. Hadir pula pada upacara tersebut Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir, Wakil Menlu RI Haji Agoes Salim yang puteranya bernama Sjewket Salim ikut gugur dalam peristiwa tersebut beserta para anggota keluarga taruna yang gugur. Dan bagi R.Margono Djojohadikusumo, pendiri BNI 1946, ia kehilangan dua putra terbaiknya yaitu Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo dan Taruna R.M. Soejono Djojohadikoesoemo (keduanya paman dari Prabowo Subianto).
Untuk mengenang jasa-jasanya, pemerintah Indonesia kemudian mengangkat Daan Mogot sebagai pahlawan nasional. Namanya juga diabadikan menjadi nama Jalan yang menghubungkan Jakarta dengan Tangerang. Jalan Ini memiliki sahabat setia yaitu Kali Mookervaat.
Daan Mogot tutup usia pada tanggal 25 Januari tahun 1946. Hanya sempat merasakan sebulan hidup di usia 17 tahun atau dikenal sebagai saat sweet seventeen saat ini. Mungkin bagi anak muda akan diperingati sebagai masa yang indah, namun bagi Hadjari Singgih, pacar Mayor Daan Mogot, adalah sebuah pengorbanan yang sangat berarti bagi negeri ini. Kado yang terindah darinya adalah dengan memotong rambutnya yang panjang mencapai pinggang dan menanam rambut itu bersama jenasah Daan Mogot.
Kini di antara kemewahan kawasan Serpong, Tangerang Selatan, “terselip” sebuah sejarah bernilai tinggi bagi Republik Indonesia. Sebuah rumah tua, bekas markas serdadu Jepang di Desa Lengkong, menjadi saksi “Pertempuran Lengkong.” Di sebelah kanan rumah itu berdiri sebuah monument yang dibangun sejak tahun 1993. Terukir sejumlah nama taruna dan perwira yang gugur dalam peristiwa heroik yang itu. Namun yang patut disayangkan adanya perbedaan antara museum Lengkong dengan obyek-obyek sejarah lainnya di Tanah Air ini.
Daan Mogot lahir di Manado pada tanggal 28 Desember 1928 dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang (Mien) dengan nama Elias Daniel Mogot. Ayahnya ketika itu adalah Hukum Besar Ratahan. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara. Saudara sepupunya antara lain Kolonel Alex E. Kawilarang (Panglima Siliwangi, serta Panglima Besar Permesta) dan Irjen. Pol. A. Gordon Mogot (mantan Kapolda Sulut).
Pada tahun 1939, yaitu ketika ia berumur 11 tahun, keluarganya pindah dari Manado ke Batavia (Jakarta sekarang) dan menempati rumah di jalan yang sekarang bernama Jalan Cut Meutiah – Jakarta Pusat. Di Batavia, ayahnya diangkat menjadi anggota VOLKSRAAD (Dewan Rakyat masa Hindia-Belanda). Kemudian ayahnya diangkat sebagai Kepala Penjara Cipinang.
Pada masa Pendudukan Jepang, ia masuk dalam organisasi militer pribumi bentukan Jepang di Jawa, yaitu Pembela Tanah Air atau PETA. Waktu itu tahun 1942, ia menjadi anggota PETA angkatan pertama. Sebenarnya usia Daan Mogot belum memenuhi syarat yang ditentukan pihak Jepang yakni 18 tahun. Waktu itu ia berumur 14 tahun. Karena prestasinya, ia diangkat menjadi pelatih anggota PETA di Bali, kemudian dipindahkan di Jakarta. Semasa di Bali, ia mendapatkan dua sahabat sejati yaitu Kemal Idris dan Zulkifli Lubis.
Mereka yang berasal dari Seinen Dojo oleh instruktur Jepang diangkat sebagi Instruktur Pembantu. Sebab, latihan yang akan diberikan kepada mereka jauh lebih ringan dari latihan yang pernah diterima pada masa Seinen Dojo di Tangerang. Pendidikan dan latihan itu dapat terlaksana sampai empat angkatan. Angkatan pertama mulai bulan Desember 1943 dan angkatan keempat, terakhir selesai bulan Juli 1945, sebelum Jepang takluk pada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945.
Ada 50 orang yang diambil dari peserta latihan angkatan pertama untuk mengikuti pendidikan “guerilla warfare” di bawah pimpinan Kapten Yanagawa. Di antara mereka yang ikut latihan khusus itu adalah Daan Mogot, Kemal Idris, Zulkifli Lubis, Kusno Wibowo, Sabirin Mukhtar, Syatibi dan Effendi. Jenis latihan yang diberikan antara lain bagaimana cara memelihara burung merpati, karena burung itu dapat dipergunakan untuk alat komunikasi. Di samping itu mereka dilatih bagaimana menggunakan senjata yang baik untuk menghadapi lawan. Setelah ke-50 orang itu dilantik menjadi perwira, mereka tidak lagi bertugas sebagai Instruktur Pembantu, melainkan menjadi Shodancho.
Setelah dilantik menjadi perwira PETA, masing-masing perwira dikembalikan ke daerah asalnya. Di Bali, Daan Mogot, Zulkifli Lubis dan Kemal Idris bersama beberapa perwira PETA lainnya mendirikan serta melatih para calon PETA di sana. Alasan Jepang mendirikan PETA di Bali, karena Bali dianggap merupakan daerah pertahanan dan tempat pendaratan. Untuk itu kekuatan dipersiapkan, terutama di daerah Nagara dan Klungkung. Jepang memberikan kepercayaan kepada Daan Mogot melatih di Tabanan, Kemal Idris di Nagara dan Zulkifli Lubis di Klungkung. Sekalipun ketiga sahabat itu terpisah-pisah tempat tugasnya, namun mereka selalu mengadakan kontak, baik membicarakan hal yang berhubungan dengan latihan maupun tentang nasib rakyat yang sedang menderita di bawah telapak penjajah. Kegiatan latihan yang spesifik saat itu ialah mempersiapkan pertahanan guna menghadapi serangan musuh di pantai. Selama setahun para Shodancho di Bali menjalankan tugas dengan baik. Tahun selanjutnya mereka harus berpisah. Empat orang Shodancho harus kembali ke Jawa, sedangkan Daan Mogot, Zulkifli Lubis, dan Kemal Idris yang tetap tinggal. Mereka bertindak sebagai instruktur PETA, memberikan latihan kepada calon-calon perwira hingga mereka mahir dalam berbagai bidang ketentaraan.
Pada tahun 1945 ketika Republik Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, Daan Mogot menjadi salah seorang tokoh pemimpin Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pangkat Mayor. Ini suatu keunikan pada masa itu, Mayor Daan Mogot baru berusia 16 tahun!
Di sana Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk pada tanggal 23 Agustus 1945 mendirikan markasnya di Jalan Cilacap No. 5 untuk daerah Keresidenan Jakarta, empat hari sesudah pembentukannya. Moefreini Moe’min, seorang bekas syodancho dari Jakarta Daidan I ditunjuk sebagai pimpinannya. Sejumlah perwira yang bergerak di situ adalah Singgih, Daan Yahya, Kemal Idris, Daan Mogot, Islam Salim, Jopie Bolang, Oetardjo, Sadikin (Resimen Cikampek), Darsono (Resimen Cikampek), dan lain-lain.
Daan Mogot memang terkenal dalam sejarah zaman revolusi perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada pertempuran di hutan Lengkong-Serpong Tangerang Banten, ketika Taruna Akademi Militer Tangerang yang dipimpinnya berusaha merebut senjata dari pihak tentara Jepang tanggal 25 Januari 1946.
Ironisnya, sementara ia berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia bahkan rela gugur di medan pertempuran, ayahnya tewas dibunuh para perampok yang menganggap ”orang Manado” (orang Minahasa) sebagai londoh-londoh (antek-antek) Belanda.
Suatu ketika, Mayor Daan Mogot bertemu dengan sepupunya Alex Kawilarang. Dengan mengenakan peci hijau, ia menuruni sepeda motornya. Pemuda berusia 17 tahun itu kemudian dijemput oleh Alex di pinggir jalan, dan ia pun menunjukkan muka gembira. Pertemuan yang hangat terjadi. Kemudian mereka mengobrol di dalam rumah. Daan Mogot bercerita bahwa ia sekarang tinggal di Jalan Asem Baru, menumpang pada keluarga Singgih. Segera disambungnya cerita mengenai perjuangan. Tentang serangan di Pondok Gede. Ia juga cerita tentang ayahnya yang baru saja dibunuh, tidak diketahui dengan pasti oleh siapa. “Banyak benar anarki terjadi di sini,” kata Alex. “Memang, itu yang mesti torang bereskan. Oleh karena itu, senjata harus berada di torang pe tangan” sambung Daan. Katanya lagi kepada Alex, “Torang, orang Manado, jangan berbuat yang bukan-bukan. Awas, hati-hati! Torang musti benar-benar menunjukkan, di pihak mana kita berada.”
Lalu Daan bercerita pula mengenai pemikirannya tentang sebuah perguruan untuk mendidik para pemuda yang mau menjadi tentara, yang kemudian ternyata terlaksana, ialah didirikannya “militer akademi” (akademi militer) pada tanggal 18 November 1945 di Tangerang.
Sebagai sponsor terwujudnya gagasan mendirikan sekolah akademi militer, maka tanggal 18 November 1945 ia dilantik menjadi Direktur Militer Akademi Tangerang (MAT) pada waktu ia berusia 17 tahun. Sebenarnya di Yogyakarta juga berdiri Militer Akademi Yogya (MA Yogya) hampir bersamaan, yaitu tanggal 5 November 1945. Ide mendirikan sebuah akademi militer ini memang seperti yang diangan-angankan oleh Daan Mogot.
Ide pendirian Militer Akademi Tangerang itu datang dari empat orang: Daan Mogot, Kemal Idris, Daan Yahya dan Taswin.
Pada tahap awal ada 180 orang Calon Taruna pertama yang dilatih. Di antara mereka terdapat mahasiswa yang berasal dari Sekolah Kedokteran Ika Daigaku Jakarta. Ada di antara mereka yang menjadi komandan peleton, komandan kompi bahkan komandan batalyon. Sejumlah perwira dan bintara yang menjadi pelatih/instruktur MAT antara lain Kapten Taswin, Kapten Tommy Prawirasuta, Kapten Rukman, Kapten Kemal Idris, Kapten Oscar (Otje) Mochtan, Kapten Jopie Bolang, Kapten Endjon Djajaroekmantara, Sersan Bahruddin, Sersan Sirodz. Di Resimen Tangerang Taswin bertugas di staf sedangkan Kemal Idris di pasukan. Pada tanggal 30 November 1945 dilakukan perundingan antara Indonesia dengan delegasi Sekutu. Indonesia diwakili oleh Wakil Menteri Luar Negeri Agoes Salim yang didampingi oleh dua dua perwira TKR yaitu Mayor Wibowo dan Mayor Oetarjo. Sedangkan pihak Sekutu (Inggris), Brigadir ICA Lauder didampingi oleh Letkol Vanderpost (Afrika Selatan) dan Mayor West.
Pertemuan yang merupakan Meeting of Minds, menghasilkan ketetapan tentang pengambil-alihan primary objectives tentara Sekutu oleh TKR yang meliputi perlucutan senjata dan pemulangan 35 ribu tentara Jepang yang masih di Indonesia, pembebasan dan pemulangan Allied Prisoners of War and Internees (APWI) yang kebanyakan terdiri dari lelaki tua, wanita, dan anak-anak berkebangsaan Belanda dan Inggris sebanyak 36 ribu. Berdasarkan kesepakatan 30 November 1945, tentara Sekutu tidak lagi memiliki alasan untuk memasuki wilayah kekuasaan Indonesia maupun menggunakan tentara Jepang untuk memerangi Indonesia dengan dalih mempertahankan status quo pra- Proklamasi. Perintah itu disampaikan oleh pihak Sekutu kepada Panglima Tentara Jepang Letjen Nagano. Sekitar tanggal 5 Desember 1945 ditegaskan oleh Kolonel Yashimoto dari pimpinan tentara Jepang kepada pimpinan Kantor Penghubung TKR di Jakarta cq Mayor Oetarjo bahwa para komandan tentara Jepang setempat sesuai dengan keputusan pimpinan tentara Sekutu, telah diperintahkan tunduk kepada para komandan TKR setempat yang bertanggung jawab atas pemulangan mereka.
Pada tanggal 24 Januari 1946 Mayor Daan Yahya menerima informasi bahwa pasukan NICA Belanda sudah menduduki Parung dan akan melakukan gerakan merebut depot senjata tentara Jepang di depot Lengkong (belakangan diketahui bahwa Parung baru diduduki NICA bulan Maret 1946). Tindakan-tindakan provokatif NICA Belanda itu akan mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang dan Akademi Militer Tangerang secara serius. Sebab itu pihak Resimen IV Tangerang mengadakan tindakan pengamanan. Mayor Daan Yahya selaku Kepala Staf Resimen, segera memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang.
Tanggal 25 Januari 1946 lewat tengah hari sekitar pukul 14.00, setelah melapor kepada komandan Resimen IV Tangerang Letkol Singgih, berangkatlah pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70 taruna MA Tangerang (MAT) dan delapan tentara Gurkha. Selain taruna, dalam pasukan itu terdapat beberapa orang perwira yaitu Mayor Wibowo, Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo. Kedua Perwira Pertama ini adalah perwira polisi tentara (Corps Polisi Militer/CPM sekarang). Ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata Jepang yang sudah menyerah kepada sekutu diserahkan kepada KNIL-NICA Belanda yang waktu itu sudah sampai di Sukabumi menuju Jakarta. Dengan mengendarai tiga truk dan satu jip militer hasil rampasan dari Inggris, para prajurit berangkat dan sampai di markas Jepang Lengkong pukul 16.00 WIB. Di depan pintu gerbang, truk diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dengan Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo, dan taruna Alex Sajoeti (fasih bahasa Jepang) berjalan di depan. Pasukan taruna diserahkan kepada Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo untuk menunggu di luar.
Kapten Abe, dari pihak Jepang, menerima ketiganya di dalam markas. Mendengar penjelasan maksud kedatangan mereka, Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta. Ia beralasan bahwa ia belum mendapat perintah atasannya tentang perlucutan senjata. Saat perundingan berjalan, ternyata Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan para taruna memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana dengan kerelaan dari anak buah Kapten Abe. 40 orang Jepang telah terkumpulkan di lapangan.
Namun entah mengapa, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan yang tidak diketahui dari mana asalnya. Disusul tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang diarahkan kepada pasukan taruna yang terjebak. Tentara Jepang yang berbaris di lapangan ikut pula memberikan perlawanan dengan merebut kembali sebagian senjata mereka yang belum sempat dimuat ke dalam truk milik TKR.
Terjadilah pertempuran yang tak seimbang, apalagi pengalaman tempur dan persenjataan para Taruna tak sebanding dsengan pihak Jepang. Taruna MAT menjadi sasaran empuk, diterjang oleh senapan mesin, lemparan granat serta perkelahian sangkur seorang lawan seorang.
Ketika mendengar pecahnya pertempuran, Mayor Daan Mogot segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran namun upaya itu tidak berhasil. Mayor Daan Mogot bersama beberapa pasukannya menyingkir meninggalkan asrama tentara Jepang, memasuki hutan karet yang dikenal sebagai hutan Lengkong.
Namun Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet mengalami kesulitan menggunakan karaben Terni yang dimiliki. Sering peluru yang dimasukkan ke kamar-kamarnya tidak pas karena ukuran berbeda atau sering macet. Pertempuran ini tidak berlangsung lama, karena pasukan itu bertempur di dalam perbentengan Jepang dengan persenjataan dan persediaan peluru yang amat terbatas.
Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.
Dari pertempuran di hutan Lengkong, 33 taruna dan 3 perwira gugur serta 10 taruna luka berat. Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, hanya 3 taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi hari.
Pasukan Jepang selanjutnya bertindak penuh kebuasan. Mereka yang telah luka terkena peluru dan masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap sesudah keluar dari tempat perlindungan, lalu diserahkan kepada Kempetai Bogor. Beberapa orang yang masih hidup (walau mereka dalam keadaan terluka) dipaksa untuk menggali kubur bagi teman-temannya.
Tanggal 29 Januari 1946 di Tangerang diselenggarakan pemakaman kembali 36 jenasah yang gugur dalam peristiwa Lengkong disusul seorang taruna Soekardi yang luka berat namun akhirnya meninggal di RS Tangerang. Mereka dikuburkan di dekat penjara anak-anak Tangerang. Hadir pula pada upacara tersebut Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir, Wakil Menlu RI Haji Agoes Salim yang puteranya bernama Sjewket Salim ikut gugur dalam peristiwa tersebut beserta para anggota keluarga taruna yang gugur. Dan bagi R.Margono Djojohadikusumo, pendiri BNI 1946, ia kehilangan dua putra terbaiknya yaitu Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo dan Taruna R.M. Soejono Djojohadikoesoemo (keduanya paman dari Prabowo Subianto).
Untuk mengenang jasa-jasanya, pemerintah Indonesia kemudian mengangkat Daan Mogot sebagai pahlawan nasional. Namanya juga diabadikan menjadi nama Jalan yang menghubungkan Jakarta dengan Tangerang. Jalan Ini memiliki sahabat setia yaitu Kali Mookervaat.
Daan Mogot tutup usia pada tanggal 25 Januari tahun 1946. Hanya sempat merasakan sebulan hidup di usia 17 tahun atau dikenal sebagai saat sweet seventeen saat ini. Mungkin bagi anak muda akan diperingati sebagai masa yang indah, namun bagi Hadjari Singgih, pacar Mayor Daan Mogot, adalah sebuah pengorbanan yang sangat berarti bagi negeri ini. Kado yang terindah darinya adalah dengan memotong rambutnya yang panjang mencapai pinggang dan menanam rambut itu bersama jenasah Daan Mogot.
Kini di antara kemewahan kawasan Serpong, Tangerang Selatan, “terselip” sebuah sejarah bernilai tinggi bagi Republik Indonesia. Sebuah rumah tua, bekas markas serdadu Jepang di Desa Lengkong, menjadi saksi “Pertempuran Lengkong.” Di sebelah kanan rumah itu berdiri sebuah monument yang dibangun sejak tahun 1993. Terukir sejumlah nama taruna dan perwira yang gugur dalam peristiwa heroik yang itu. Namun yang patut disayangkan adanya perbedaan antara museum Lengkong dengan obyek-obyek sejarah lainnya di Tanah Air ini.
Markas tentara Jepang di Desa Lengkong |
Museum dan Monumen Lengkong bukanlah salah satu sarana obyek wisata yang bisa dikunjungi oleh masyarakat luas. Pemanfaatannya hingga saat ini hanya sekedar tempat peringatan peristiwa pertempuran. Sehingga banyak dari masyarakat sekitar yang tidak tahu akan keberadaan bangunan historis tersebut. Apalagi seharusnya di museum terpampang foto-foto perjuangan para taruna militer di Indonesia beserta akademinya, namun sayang sekali foto-foto bersejarah tersebut kini berada di Akademi Militer Tangerang dan akan dipasang kembali tiap tanggal 25 Januari dalam upacara peringatan peristiwa Pertempuran Lengkong.
Kisah kepahlawanan Daan Mogot menjadi tamparan bagi kita, saat usia muda ia telah berbakti untuk negerinya. Seharusnya kita terus kabarkan, agar para pemuda tahu bahwa sejarah negeri ini bermula dari kaum pemuda. Agar para orang pemimpin negeri ini tak memandang remeh pada jeritan kaum muda. Simak dan renungkan, apa yang terukir di pintu gerbang Taman Makam Pahlawan Taruna, Tangerang.
Kisah kepahlawanan Daan Mogot menjadi tamparan bagi kita, saat usia muda ia telah berbakti untuk negerinya. Seharusnya kita terus kabarkan, agar para pemuda tahu bahwa sejarah negeri ini bermula dari kaum pemuda. Agar para orang pemimpin negeri ini tak memandang remeh pada jeritan kaum muda. Simak dan renungkan, apa yang terukir di pintu gerbang Taman Makam Pahlawan Taruna, Tangerang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar