selamat datang di Indonesia, negeri tercantik sejagat raya. lihatlah keindahan, budaya, insan, kuliner, wisata, keunikan dan apa saja tentang Indonesia

Kamis, 09 Juni 2011

Tradisi Baayun Di Kalimantan Selatan


Tradisi Baayun yang biasa di gelar pada bulan Maulid atau bulan Rabiul Awal merupakan tradisi turun temurun masyarakat pemeluk agama Islam di Kalimantan Selatan. Tradisi berisi pembacaan doa shalawat sambil mengayun anak dalam ayunan ini sudah berlangsung ratusan tahun lamanya dan terkait dengan kepercayaan masyarakat adat Dayak pegunungan Meratus. Biasanya, tradisi Ba’ayun digelar di areal makam Pangeran Suriansyah, Kuin Utara Kota Banjarmasin, raja Banjar penyebar agama islam di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Tradisi tahunan dengan mengayunkan anak pada bulan Maulud ini bertujuan agar sang anak jika sudah besar nanti menjadi orang yang sehat berbakti kepada orang tua, serta dapat mengikuti ketauladanan Nabi Muhammad SAW. Yang menarik, sambil mengayun ayunan sang buah hati, si ibu berdendang dengan bershalawat nabi. Seakan mengerti sedang didendangkan, anak-anak tak satupun dari balita yang merengek apalagi menangis. bahkan sebagian besar bisa tertidur pulas.

Ayunan yang digunakan dalam Ba’ayun tergolong unik, yakni menggunakan kain yang dihiasi janur pohon nipah, janur pohon kelapa serta janur pohon enau. janur dibentuk mirip tangga puteri, tangga pangeran, payung singgasana, patah kangkung, kambang sarai, gelang-gelang serta hal-hal lain yang berkenaan dengan aksesoris kerajaan. jika proses Ba’ayun Maulud selesai, ayunan yang juga dihiasi aneka buah seperti pisang, kue cincin dan uang pecahan, bisa mereka bawa pulang.Peralatan dan bahan-bahan yang diperlukan dalam penyelenggaraan upacara adat Baayun antara lain sebagai berikut:
a. Ayunan dibuat dari tapih bahalai atau kain sarung wanita yang pada ujungnya diikat dengan tali atau pengait. Ayunan ini biasanya digantungkan pada penyangga ruangan tengah rumah. Pada tali tersebut diikatkan Yasin, daun jariangau, kacang parang, dan katupat guntur, dengan tujuan sebagai penangkal jin (mahluk halus) atau penyakit yang dapat mengganggu bayi. Posisi bayi yang diayun ada yang dibaringkan dan ada pula posisi duduk dengan istilah “dipukung”. Kain ayunan ini terdiri atas 3 (tiga) lapis. Lapisan paling atas menggunakan kain sarigading atau sasirangan (kain tenun khas Banjar). Pada zaman dahulu, kain sasirangan yang bisa digunakan untuk ayunan dalam upacara Baayun Anak harus bercorak tertentu, yakni motif bahindang (pelangi). Sedangkan lapisan tengah menggunakan kain kuning (kain belacu yang diberi warna kuning dari sari kunyit), dan lapisan paling bawah memakai kain bahalai (kain panjang tanpa sambungan jahitan).
b. Hiasan ayunan terdiri dari janur pohon nipah atau pohon kelapa atau pohon enau. Jenis-jenis hiasan ayunan yang dipersiapkan dalam pelaksanaan upacara adat Baayun Anak atau Baayun Mulud antara lain berbentuk tangga puteri, tangga pangeran, payung singgasana, patah kankung, kembang serai, gelang-gelang atau rantai, dan lain sebagainya. Hiasan lain yang biasanya ditambahkan dapat berupa buah pisang, kue cucu, kue cincin, dan hiasan-hiasan lain. Selain itu, pada tali ayunan juga diberi beraneka macam pernak-pernik hiasan, misalnya anyaman janur hewan, katupat bangsur, halilipan, kambang sarai, rantai, atau hiasan-hiasan dengan mengunakan buah-buahan dan kue tradisional .
c. Piduduk adalah syarat upacara yang berupa bahan-bahan mentah. Bahan-bahan yang termasuk dalam piduduk antara lain 3,5 liter beras, 1 biji gula merah, sedikit garam (untuk anak laki-laki) atau sedikit garam ditambah dengan minyak goreng (untuk anak perempuan).
d. Sesaji adalah perlengkapan atau syarat upacara. Sesaji yang diperlukan dalam pelaksanaan upacara adat Baayun Mulud antara lain telur dan nasi lamak (lakatan) atau nasi ketan bersantan. Sesaji disajikan di dalam piring yang diisi dengan susunan nasi lamak, kue apem, kue cucur, inti kelapa, telur ayam rebus, papari, pisang, dan tape ketan. Sesaji lainnya dan piduduk ditempatkan pada sebuah ember ukuran kecil, yakni berupa beras, buah kelapa yang sudah dikupas kulitnya, sebungkus garam, dan gula merah.

Sebenarnya, upacara ini telah menjadi ritual wajib yang sudah menjadi tradisi jauh sebelum ajaran Islam dianut oleh orang-orang Suku Banjar. Dulu, upacara adat ini dikenal dengan sebutan upacara Baayun Anak. Sejalan dengan masuknya Islam, maka kemudian upacara Baayun Anak dipadukan dengan ajaran agama Islam dan lantas disebut dengan istilah Baayun Mulud. Sebelum beralkulturasi dengan ajaran Islam, upacara Baayun Anak dilaksanakan sebagai sarana atau media untuk mengenalkan si anak kepada Datu Ujung, yakni sosok leluhur yang digambarkan sakti mandraguna dan memiliki pengaruh yang sangat besar. Urang Banjar pada zaman dahulu meyakini bahwa anak-anak mereka bisa memperoleh keberkatan dalam hidupnya, tidak mudah menangis, dan terhindar dari segala marabahaya. Untuk itu, pada zaman dahulu, setiap anak harus melalui upacara Baayun Anak sebagai tanda penghormatan dan sekaligus memberi persembahan kepada Datu Ujun

Pada perkembangannya, penerapan upacara adat Baayun Anak berakulturasi dengan dakwah ajaran Islam. Penghormatan yang sebelumnya dipersembahkan kepada leluhur, diselaraskan dengan ajaran Islam, yakni agar si anak dapat mendapat sifat-sifat baik seperti yang dimiliki oleh Nabi Muhammad. Akulturasi terhadap tradisi ini terjadi secara damai dan harmonis serta menjadi substansi yang berbeda dengan sebelumnya karena tradisi lama berubah menjadi tradisi baru yang bernafaskan Islam. Selaras dengan itu, namanya pun berganti dari Baayun Anak menjadi Baayun Mulud karena ritual adat ini diselenggarakan pada setiap bulan Mulud/Rabi’ul Awal, bulan kelahiran Nabi Muhammad. Ditelisik dari namanya, istilah “Baayun Mulud” terdiri dari dua kata, yaitu “baayun” dan “mulud”. Kata “baayun” berarti melakukan aktivitas ayunan/buaian, atau kegiatan mengayun bayi yang biasanya dilakukan oleh seseorang untuk menidurkan anaknya. Sedangkan kata “mulud”, berasal dari bahasa Arab “maulud”, merupakan ungkapan masyarakat Arab untuk menyebut peristiwa kelahiran Nabi Muhammad. Dengan demikian, istilah Baayun Mulud mempunyai arti sebagai berikut: “Kegiatan mengayun anak (bayi) sebagai ungkapan syukur atas kelahiran Nabi Muhammad, sang pembawa rahmat bagi sekalian alam”

Tradisi ini sebagai bagian tradisi dakwah Islam sebenarnya sudah dikenal masyarakat Banjar sejak Kesultanan Banjar resmi menjadi kerajaan Islam, yakni pada dekade kedua abad ke-14 Masehi. Pada awalnya, upacara ini hanya diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga besar kerajaan yang lahir pada bulan Safar karena bulan ini dipercaya sebagai bulan yang penuh bala atau malapetaka. Oleh karena itu, untuk menghindari tertimpanya hal-hal yang tidak diinginkan pada anak, maka si anak wajib diayun sebagai bentuk ritual tolak bala. Seiring dengan berjalannya waktu, ritual adat ini juga populer di kalangan masyarakat kebanyakan, khususnya orang Banjar yang tinggal di daerah hulu sungai. Peruntukan upacara ini tidak lagi hanya bagi anak lahir di bulan Safar tapi juga pada anak-anak Banjar yang dilahirkan pada bulan-bulan lainnya. Dalam perkembangannya kemudian, tradisi Baayun Anak justru lebih dikenal dengan sebutan Baayun Mulud. Tradisi ini rutin diselenggarakan saban tahun, pada setiap tanggal 12 bulan Mulud atau Rabiul Awal tahun Hijriyah (dalam penanggalan kalender Islam) untuk menyambut dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad. Akan tetapi, jika upacara Baayun Mulud/Baayun Anak dilaksanakan di luar tanggal tersebut juga diperbolehkan. Upacara ini biasanya dimulai pada sekitar pukul 10.00 pagi. Upacara Baayun dilakukan ketika anak berusia 0-5 tahun. Namun biasanya, saat bayi berusia 40 hari, upacara ini sudah diselenggarakan. Tempat pelaksanaan tradisi Baayun ini ada yang diselenggarakan di rumah, namun bisa juga dilakukan di balai desa, masjid, atau di tempat yang lapang secara massal.

Setelah semua peralatan dan bahan tersedia, maka prosesi upacara adat Baayun Mulud sudah siap untuk dilakukan. Pelaksanaan upacara ini biasanya dilangsungkan pada pagi hari. Pertama-tama, ayunan digantungkan di tempat upacara, yakni di ruangan bagian depan. Sebelumnya, ayunan tersebut telah diisi dengan batu pipih sebagai pemberat. Orang-orang yang hendak menyaksikan jalannya upacara Baayun ini bisa siapa saja, termasuk warga dari lain kampung. Bahkan, tidak jarang pula ada orang yang sudah tua ikut upacara ini karena mereka merasa pada waktu kecil dulu tidak sempat melakukan Baayun Mulud. Para hadirin upacara ini diatur tata letaknya, yaitu memadati bagian sisi ayunan. Kaum laki-laki berjajar pada bagian depan ruang utama masjid atau rumah, tepatnya di barisan depan jajaran ayunan. Sedangkan tamu perempuan berada di sisi kiri-kanan dan belakang ayunan. Sementara itu, semua syarat upacara diletakkan di bawah ayunan. Demikian pula di setiap tiang utama masjid diletakkan piduduk yang ditempatkan pada dua buah piring makan, yakni beras kuning dengan inti kelapa yang diletakkan tepat di tengah-tengahnya.


Setelah semua siap, maka dimulailah acara pembacaan Kitab Maulid Nabi. Naskah syair-syair yang dibacakan tergantung pada keinginan bersama. Prosesi dimulai dengan pembacaan Syair Maulid yang dipimpin oleh seorang Tuan Guru (ulama) dengan diiringi irama tetabuhan rebana. Syair-syair Maulid yang umum dibawakan pada acara Baayun Anak seperti syair Mawlud Barjanzi, Mawlud Syaraf al-Anam, atau Mawlud al-Dayba’i. Saat syair-syair itu dibacakan, tepatnya ketika akan memasuki kalimat asyraqal, anak yang akan diayun dibawa ke tempat upacara. Setelah batu pipih yang tadi diletakkan di dalam ayunan dikeluarkan, maka barulah anak tersebut dimasukkan ke dalam ayunan. Pada saat yang sama, yakni ketika memasuki kalimat asyraqal, semua hadirin berdiri sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad karena saat-saat itulah dipercaya bahwa ruh Nabi Muhammad hadir untuk menebar berkah bagi semua orang yang ada di situ. Sembari para hadirin berdiri, anak yang berada di dalam ayunan itu mulai diayun-ayunkan secara perlahan-lahan, yakni dengan menarik sehelai selendang yang sebelumnya telah dikaitkan pada pangkal ayunan. Dalam tradisi urang Banjar, dikenal dua macam cara mengayun, yakni mengayun biasa dan mengayun badundang. Mengayun biasa adalah mengayun dengan mengayun-ayunka ayunan secara lepas, sedangkan mengayun badundang adalah mengayun dengan cara memegang tali ayunan. Ketika momen pembacaan kalimat asyraqal berlangsung, ibu si anak yang sedang diayun itu turut khidmat dan ikut melafalkan lantunan kalimat syair sambil mengangkat anaknya ke pangkuan. Pada waktu yang bersamaan, Tuan Guru yang memimpin pembacaan syair berjalan ke arah ibu si anak untuk memberikan tapung tawar kepada si anak. Tapung tawar adalah tahap prosesi dalam memberi berkat dengan mengusap jidat anak dan memercikannya dengan air khusus yang biasanya disebut dengan air tutungkal. Air ini terdiri dari campuran air, minyak buburih, dan rempah-rempah. Setelah selesai prosesi tapung tawar, para hadirin duduk kembali. Pembacaan doa dilakukan dengan pengulangan sebanyak 7 (tujuh) kali. Setelah tapung tawar, ada sejumlah kalangan tertentu yang melanjutkan upacara ini dengan prosesi naik turun tangga manisan tebu atau acara batumbang, namun ada juga yang langsung ke acara penutup.
 
Prosesi upacara Baayun Mulud ditutup dengan pembacaan doa yaitu doa Khatam al-Mawlud. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan ayat-ayat suci Alquran dan diakhiri dengan ceramah yang disampaikan oleh seorang ulama. Setelah semua rangkaian acara dilaksanakan, maka tiba saatnya bagi seluruh hadirin untuk menyantap makanan bersama-sama. Dalam pelaksanaan upacara Baayun, terdapat beberapa pantangan atau larangan yang hingga kini masih dipatuhi. Pantangan-pantangan tersebut antara lain: Hiasan janur tidak diperbolehkan berbentuk burung, Anak yang sedang diayun tidak boleh dalam keadaan tertidur sewaktu upacara Baayun sedang berlangsung.dan ada sejumlah kalangan yang tidak memperbolehkan kaum wanita memasuki ruang tempat di mana upacara Baayun ilaksanakan.
 

Baayun Anak merupakan sebuah tradisi yang dapat dimaknai sebagai suatu upaya untuk menyampaikan ajaran Islam dengan mengakomodir budaya lokal serta lebih menyatu dengan lingkungan hidup masyarakat setempat. Dakwah kultural memang menghendaki adanya kecerdikan dalam memahami kondisi masyarakat dan kemudian mengemasnya sesuai dengan pesan-pesan yang terkandung dalam dakwah Islam. Dengan demikian, upacara adat Baayun Mulud atau Baayun Anak sudah menjadi salah satu simbol pertemuan antara tradisi dan ajaran agama. Mengayun anak, jelas sebuah tradisi lokal yang dilakukan oleh masyarakat Banjar dan Dayak secara turun-temurun dari dulu hingga sekarang untuk menidurkan anak-anak. Sedangkan memberi nama anak, berdoa, membaca shalawat, membaca Alquran, dan silaturrahmi merupakan anjuran dan perintah agama Islam. Kedua ritus ini secara harmoni telah bersatu dalam kegiatan Baayun, yang bahkan secara khusus dilaksanakan sebagai peringatan sekaligus penghormatan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada masa sekarang ini, tradisi Baayun kerap diselenggarakan secara massal dan dijadikan agenda budaya tahunan khas Kalimantan Selatan. Salah satunya seperti yang dihelat di Museum Lambung Mangkurat, Kabupaten Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan, rutin setiap tahun sekali sebagai salah satu sarana untuk menyebarluaskan informasi secara langsung dalam bentuk peragaan pagelaran adat budaya yang Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar