Sukarno muda, sangat gemar mengikuti Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam dalam berbagai aktivitas. Cara dan gaya orasi Tjokro pula yang mengilhaminya menjadi orator. Di kemudian hari kita tahu, Sukarno menjelma menjadi orator ulung. Manakala ia berpidato, lautan manusia tersirep, redam, hening, khidmat. Kepiawaian Sukarno berpidato, bukan “ujung-ujug”, bukan sesuatu yang tiba-tiba. Ia melatihnya di kegelapan kamar tanpa aliran listrik. Di pengapnya ruang kamar tanpa jendela. Di tengah malam buta, ia biasa berpidato dengan suara lantang, berirama, menghentak, menghanyutkan. Ia bisa menjadi seorang tokoh Yunani yang berunjuk rasa. Ia bisa menjadi siapa saja, dan menyuarakan apa saja.
Itu dilakukan di kamar pondokan Tjokroaminoto di Gang Peneleh 7, Surabaya. Teman-teman penghuni kamar lain, tahu betul situasi itu. Mulanya mereka menghardik, menyuruh diam karena mengganggu ketenangan malam. Akan tetapi, lama kelamaan, mereka hanya saling pandang dan berkata datar, “Biasa…. si No mau menyelamatkan dunia….” Adalah biasa, nama Karno dipanggil pendek, “No”.
Tapi tahukan Anda, kapan untuk pertama kali Sukarno berpidato? Mungkin tidak penting, tapi sungguh patut dicatat untuk seorang tokoh bangsa, proklamator negeri ini.
Itu dilakukan di kamar pondokan Tjokroaminoto di Gang Peneleh 7, Surabaya. Teman-teman penghuni kamar lain, tahu betul situasi itu. Mulanya mereka menghardik, menyuruh diam karena mengganggu ketenangan malam. Akan tetapi, lama kelamaan, mereka hanya saling pandang dan berkata datar, “Biasa…. si No mau menyelamatkan dunia….” Adalah biasa, nama Karno dipanggil pendek, “No”.
Tapi tahukan Anda, kapan untuk pertama kali Sukarno berpidato? Mungkin tidak penting, tapi sungguh patut dicatat untuk seorang tokoh bangsa, proklamator negeri ini.
Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sukarno menyebut pidato di Studieclub HBS-lah sebagai pidato pertamanya. Ketika itu, ia berusiaa 16 tahun. Studieclub adalah pengajaran tambahan di HBS, yang bertujuan untuk membahas buah-buah pikiran dan cita-cita. Pembicara pertama, tentulah Ketua Studieclub. Ia membuka statemennya dengan mengatakan, “Adalah menjadi suatu keharusan bagi generasi kita untuk menguasai betul bahasa Belanda….”
Setiap orang setuju. Setiap orang… kecuali SUKARNO ! Ia (entah dirasuki apa) tiba-tiba meloncat ke atas meja dan berkata keras, “Tidak. Saya tidak setuju!” Tentulah semua peserta Studieclub terbelalak, terbengong-bengong, terheran-heran. Selanjutnya… bergulir pidato Sukarno. Pidato yang pertama yang dilakukannya di muka banyak orang, tidak hanya sendirian di dalam kamar, di hadapan “tidak seorang pun” kecuali tembok dan kegelapan malam.
Setiap orang setuju. Setiap orang… kecuali SUKARNO ! Ia (entah dirasuki apa) tiba-tiba meloncat ke atas meja dan berkata keras, “Tidak. Saya tidak setuju!” Tentulah semua peserta Studieclub terbelalak, terbengong-bengong, terheran-heran. Selanjutnya… bergulir pidato Sukarno. Pidato yang pertama yang dilakukannya di muka banyak orang, tidak hanya sendirian di dalam kamar, di hadapan “tidak seorang pun” kecuali tembok dan kegelapan malam.
“Tanah kebanggaan kita ini dulu pernah bernama Nusantara. Nusa berarti pulau. Antara berarti di antara. Nusantara berarti ribuan pulau-pulau, dan banyak di antara pulau-pulau ini yang lebih besar daripada seluruh negeri Belanda. Jumlah penduduk negeri Belanda hanya segelintir jika dibandingkan dengan penduduk kita. Bahasa Belanda hanya dipergunakan oleh enam juta manusia,” Bung Karno berorasi. Lanjutnya, “Mengapa suatu negeri kecil yang terletak di sebelah sana dari dunia ini menguasi suatu bangsa yang dulu pernah begitu perkasa, sehingga dapat mengalahkan Kublai Khan yang kuat itu?” Sukarno terus dan terus berkata-kata, dan mengakhirinya dengan, “Saya berpendapat, bahwa yang pertama-tama harus kita kuasai adalah bahasa kita sendiri. Marilah kita bersatu sekarang untuk mengembangkan bahasa Melayu. Kemudian baru menguasai bahasa asing. Dan sebaiknya kita mengambil bahasa Inggris, oleh karena bahasa itu sekarang menjadi bahasa diplomatik.”
Tidak berhenti sampai di situ, ia menyeru, “Belanda berkulit putih. Kita **********. Rambut mereka pirang dan keriting. Kita punya lurus dan hitam. Mereka tinggal ribuan kilometer dari sini. Mengapa kita harus berbicara bahasa Belanda?!”
Suasana Studieclub heboh, gaduh karena belum pernah mendengar orasi seperti itu sebelumnya. Di sebuah pojok ruang, Direktur HBS, Tuan Bot, berdiri tak berbuat apa pun, melainkan memandang ke arah Sukarno dengan tatapan tajam… seolah menyuarakan kata, “Oooh… Sukarno mau bikin susah!”
Suasana Studieclub heboh, gaduh karena belum pernah mendengar orasi seperti itu sebelumnya. Di sebuah pojok ruang, Direktur HBS, Tuan Bot, berdiri tak berbuat apa pun, melainkan memandang ke arah Sukarno dengan tatapan tajam… seolah menyuarakan kata, “Oooh… Sukarno mau bikin susah!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar