Molonthalo atau raba puru bagi sang istri yang hamil 7 bulan anak pertama, merupakan pra acara adat dalam rangka peristiwa adat kelahiran dan keremajaan, yang telah baku pada masyarakat Gorontalo. Istilah Raba Puru merupakan dialeg Manado Sulawesi Utara, Puru artinya Perut. Dalam Bahasa Adat Gorontalo di sebut Molonthalo atau Tondhalo. Adat ini hampir sama dengan Adat jawa yang di sebut Mitoni yang merupakan upacara adat selamatan yang menandai tujuh bulan usia kehamilan. Acara Molonthalo ini merupakan pernyataan dari keluarga pihak suami bahwa kehamilan pertama adalah harapan yang terpenuhi akan kelanjutan turunan dari perkawinan yang syah. Serta merupakan maklumat kepada pihak keluarga kedua belah pihak, bahwa sang istri benar-benar suci dan merupakan dorongan bagi gadis – gadis lainnya untuk menjaga diri dan kehormatannya. Persiapan dan cara pelaksanaan hingga tahapan dari Acara Adat Molonthalo ini cukup banyak. Pihak keluarga yang mengadakan upacara adat ini harus menghadirkan kerabat pihak suami, Hulango atau Bidan Kampung, Imam Kampung atau Hatibi, dua orang anak perempuan umur 7 sampai dengan 9 tahun, keduanya masih memiliki orang tuanya (Payu lo Hulonthalo), dua orang Ibu dari keluarga sakinah.
Hulango atau Bidan Kampung, yang telah ditunjuk sebagai pelaksana acara Molonthalo, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
- Beragama Islam.
- Mengetahui seluk beluk umur kandungan.
- Mengetahui urutan Upacara Adat Molonthalo.
- Mengetahui lafal-lafal yang telah diturunkan oleh leluhur dalam pelaksanaan acara tersebut.
- Diakui oleh kelompok masyarakat sebagai Bidan Kampung.
Atribut Adat sebagai pelengkap Upacara Adat Molonthalo, antara lain :
- Hulante yang berbentuk seperangkat bahan diatas baki, terdiri dari beras cupak atau 3 liter, diatasnya terletak 7 buah pala, 7 buah cengkih, 7 buah telur, 7 buah limututu (lemon sowanggi), 7 buah mata uang yang bernilai Rp. 100,- Dahulu mata uang terdiri dari Ringgit, Rupiah, Suku, Tali, Ketip dan Kelip.
- Seperangkat bahan pembakaran dupa diatas baki, yang terdiri dari 1 buah polutubedupa) dan segelas air masak yang tertutup. (pedupaan), 1 buah baskom tempat tetabu.
- Seperangkat batu gosok (botu pongi’ila) yaitu batu gosok untuk mengikis kunyit sepenggal, dicampur sedikit kapur, dan air dingin yang disebut Alawahu Tilihi.
- Seperangkat Pomama (tempat sirih, pinang), Tambaluda atau Hukede.
- 1 buah Toyopo, atau seperangkat makanan, tempatnya terbuat dari daun kelapa muda (janur) yang berisi nasi kuning, telur rebus, ayam goreng dan kue – kue seperti wapili, kolombengi, apangi dll ditambah pisang masak terdiri dari pisang raja atau pisang gapi (Lutu Tahulumito atau Lutu Lo Hulonti’o).
- Seperangkat makanan diatas baki terdiri dari sepiring bilinti, atau sejenis nasi goring yang dicampur dengan hati ayam, sepiring ayam goreng yang masih utuh dan diperutnya dimasukkan sebuah telur rebus, dua buah baskom tempat cuci tangan dan dua buah gelas berisi air masak, dan dua buah sendok makan.
- Sebuah daun silar (tiladu) berkeping tiga (tiladu tula-tula pidu), seukuran perut sang ibu yang hamil.
- Bulewe atau upik pinang (Malo ngo’alo).
- Sebuah tempurung tidak bermata (buawu huli).
- Seperangkat tikar putih (amongo peya-peya atau ti’ohu) yang terbungkus (bolu-bolu). Yang terpancang didepan pintu (pode-podehu). Dimana ada seorang ibu dibalik tirai itu meneruskan pertanyaan dari syara’ (hatibi atau syarada’a atau imam) yang bertugas / diundang membacakan doa, kepada Hulango (bidan kampung). Pertanyaan yang disampaikan adalah “MA NGOLO HULA” artinya sudah berapa bulan dan dijawab oleh anak-anak tersebut atas petunjuk Hulango.
- Pale Yilulo (Tilondawu) yaitu : beras yang diwarnai dengan warna merah, kuning, hijau, hitam dan putih).
- Sebilah keris memakai sarung.
Bagi yang diacarakan (sang ibu hamil) memakai busana walimomo konde pakai sunthi dengan tingkatan, 1 tangkai untuk umum, 3 tangkai untuk golongan istri wuleya lo lipu (Camat), 5 tangkai untuk golongan istri Jogugu / wakil Bupati / Walikota, dan 7 tangkai untuk Mbui, istri Raja / Bupati / Walikota. Suami (calon ayah) memakai Bo’o takowa kiki dan payungo tilabatayila memakai salempang, keris terselip di pinggang. Dua orang untuk perempuan memakai galenggo wolimomo, kepalanya memakai Baya Lo Bo’ute, atau bahan hiasan kepala. Dua orang ibu yang sakinah memakai kebaya dan batik, serta batik surang sebagai penutup atau (wulo-wuloto) atau busana lo mango tiilo.
Prosesi pelaksanaan Upacara Adat Molonthalo dimulai dengan Hulango memberikan tanda (bontho) dengan alawahu tilihi pada dahi, leher bagian bawah tenggorokan, bahu, lekukan tangan dan bagian atas telapak kaki, bawah lutut, yang bermakna pernyataan sang ibu akan meninggalkan sifat – sifat mazmunah (tercela) dalam mendidik dan membesarkan anak – anaknya nanti. Kemudian Sang ibu dibaringkan diatas tikar putih diatas permadani, kepalanya menghadap ketimur dan kakinya ke barat. Seorang ibu memegang bantal dan menjaga dibagian kepalanya. Pada bagian kaki seorang ibu menjaga sambil memegang lutut dari sang ibu hamil, posisi lututnya terlipat keatas.
Dua orang anak (laki – laki dan perempuan) pada payu lo limutu, satu orang anak perempuan (pada payu lo Hulondhalo), yang sudah dapat berbicara. Mereka duduk bersebelahan (payu lo limutu), duduk disisi sebelah kanan dari ibu yang di tonthalo. Kedua tangan mereka tersusun diatas perut yang hamil ( ibu yang di tonthalo), tepat diatas ikat pinggang janur berkepala tiga.
Syara’ menanyakan kepada ibu yang dibalik tirai / pemegang lalante bula (tikar terbungkus kain batik), sebagai berikut : “MA MONGOLA HULA?” artinya “SUDAH BERAPA BULAN?”. Pertanyaan ini diteruskan kepada Hulango lalu dibalas oleh hulango dengan kalimat : “OYINTA OLUWO dst.”. Jawaban itu diteruskan oleh ibu dibalik tirai (podebu lo bula), kepada syara’ dengan suara keras, demikian berlangsung tiga kali. Dilanjutkan dengan Sang suami melangkahi perut sang istri 3 kali, lalu menghunus keris, memotong ikatan anyaman silar tersebut.
Setelah anyaman silar itu terputus, maka sang suami mengeluarkan ikatan silar tersebut, dan sang istri bangun menuju pintu didepan lalante bula dan sang suami keluar mengelilingi rumah 1 kali, kemudian membuang silar itu jauh – jauh. Hal ini perlambang, agar bayi itu lahir dengan selamat, dan mencari 3 jalur ikatan adat, syara’ dan baala, sebagai pedoman hidupnya dalam bermasyarakat nanti. Selesai acara tersebut, sepasang suami istri kembali kerumah, duduk berhadapan saling suap menyuapi dengan seperangkat makanan yang ada dibaki yaitu nasi bilinthi, dan ayam goreng, didahului dengan sang suami mengeluarkan telur dari perut ayam goreng, sebagai perlambang kemudahan sang istri melahirkan jabang bayi. Suap menyuap adalah perlambang kasih sayang, dan mengingatkan hak serta kewajiban baik istri maupun suami.
Dilanjutkan dengan Pembacaan doa salawat oleh imam atau hatibi atau aparat keagamaan lainya, dihadapan hidangan, yang dihadiri oleh undangan yang terdiri dari kerabat kedua belah pihak. Tahapan terakhir, Suami Istri dimandikan oleh dukun adat dengan air yang penuh dengan berbagai macam bunga – bunga dan ramuan.
Acara diakhiri dengan suguhan kopi atau minum teh bersama disajikan dengan kue tradisional gorontalo. Sebelum bubar, sang suami memberikan sedekah kepada para pelaksana acara tersebut sesuai keikhlasan. Pala’u dibagi – bagikan kepada yang berhak menerimanya, yakni Hulango, pembaca doa salawat, dua orang anak, dua orang ibu dan seorang ibu dibalik tirai (yang meneruskan pertanyaan dan jawaban antara hulango dan imam).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar